Bicara tentang dasar negara indonesia maka pastilah kita sepakat hanya Pancasila-lah jawabannya. Paham-paham ideologi kebangsaan lainnya haram dibumi persada Indonesia, bukan begitu sob...??? nah jadi bila kamu ada yang mendengar ada sekelompok oknum baik itu ormas, partai, apalagi pergerakkan massa yang berupaya untuk mengubah hal tersebut sesungguhnya hal itu sudah dikatakan sebagai upaya "
Makar", makar sendiri adalah kejahatan serius bagi kedaulatan dan simbol-simbol negara secara luas dan pemerintahan yang berkuasa secara khususnya dan dapat diberikan sanksi Hukuman Mati, Seumur hidup, atau paling rendah 20 tahun kurungan penjara, lho...???
nah berdasarkan riwayatnya rumusan dasar negara kita menjurus dari hasil piagam jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang berisikan :
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
rumusan ini adalah hasil dari kesepakatan
Panitia Sembilan yang terdiri dari :
- Ir. Soekarno (ketua)
- Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
- Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
- Mr. Mohammad Yamin (anggota)
- KH. Wahid Hasjim (anggota)
- Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
- Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
- H. Agus Salim (anggota)
- Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
Panitia Sembilan ini dibentuk pada tanggal 1 Juni 1945 dengan tugas untuk merumuskan dasar negara
Indonesia yang tercantum dalam
UUD 1945.
Lalu bagaimana sila pertama pada piagam jakarta bisa berubah...???
yah perubahan kalimat dari
"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi
"Ketuhanan Yang Maha Esa" pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dengan dilatarbelakangi Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari
Sabang sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar
negara tidak berdasarkan agama tertentu dan kekhawatiran akan ketidakinginan kaum agama lain untuk bergabung ke Indonesia bila sila pertama Piagam Jakarta Tersebut tetap dijadikan Dasar Negara
Perubahan ini juga mengalami pertentangan keras terkhusus dari kalangan politisi islam radikal disaat itu, bahkan ada yang mengekspresikan ketidakpuasannya dengan melancarkan suatu pemberontakan yang dilakukan kelompok DI/TII/NII.
Pemberontakkan DI/TII/NII
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI)
yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah kelompok Islam di Indonesia
yang bertujuan untuk pembentukan negara Islam di Indonesia. dikoordinasikan oleh seorang politisi Muslim radikal,
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan
Ciawiligar, Kawedanan
Cisayong,
Tasikmalaya,
Jawa Barat. Kelompok ini mengakui
syariat islam sebagai sumber hukum yang valid.
Gerakan ini bertujuan menjadikan
Republik Indonesia yang saat itu baru saja
diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa
perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara
teokrasi dengan
agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku
dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam
undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum
yang tertinggi adalah
Al Quran dan
Sunnah". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan
syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum
kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50
Gerakan DI/TII Daud Beureueh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi"
Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal
20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer
Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada
pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas
pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik
sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur
Militer, Daud Beureuh bisa memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga
berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di
daerah
Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan anak-buahnya dapat mengusai sebagian daerah Aceh.
Sesudah bantuan datang dari
Sumatera Utara dan
Sumatera Tengah,
operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah
didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan pemberontakannya
di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini
dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan
Desember
1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral
Makarawong.
Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
Pada bulan Oktober
1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di
Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh
Ibnu Hadjar.
Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan
ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut
pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan damai kepada Ibnu Hadjar
dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi
anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat berpura-pura menyerah, akan tetapi
setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan
lagi sehingga pemerintah akhirnya terpaksa menugaskan pasukan ABRI
(TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu
Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum
mati.
Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
Pada bulan Oktober
1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di
Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh
Ibnu Hadjar.
Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan
ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut
pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan damai kepada Ibnu Hadjar
dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi
anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat berpura-pura menyerah, akan tetapi
setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan
lagi sehingga pemerintah akhirnya terpaksa menugaskan pasukan ABRI
(TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu
Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati
Gerakan DI/TII Amir Fatah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII
Jawa Tengah.
Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah
dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan
oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir
Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia
ideologi Islam radikal. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya
menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah
Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu
perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri"
tersebut, Pemerintah RI dan TNI dianggap tidak menghargai perjuangan
Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes.
Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus
diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah
penangkapan dirinya oleh Mayor
Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia
Gerakan DI/TII Qahar Muzakkar
Pemerintah berencana membubarkan
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata
Kahar Muzakkar
menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya
lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di
bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka
yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil
kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke
Corps Tjadangan Nasional
(CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan
Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke
hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan.
Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia
dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal
7 Agustus 1953. Tanggal
3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan
ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar