Kerajaan
Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga besar Puak Sunggal
diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai anak
bernama Sirukati Surbakti.
Sirukati
Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti dan
Sirsir/Serser Surbakti. Sirsir/Serser Surbakti mempunyai saudara empat
orang, salah satunya bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak
(Dairi). Keduanya melakukan perjalanan dari daerah Pak Pak/Dairi turun
gunung ke daerah Tanah Karo dan Gayo Alas. Kebal Surbakti kemudian
membuat perkampungan di Lingga dan Sirsir mengembara sampai ke Tanah
Alas di Lingga Raja, terus ke Torong dan membuat perkampungan di sana.
Sirsir kemudian menikah dengan seorang Putri yang dipercayai sebagai
penjelmaan dari seekor gajah maka anaknya kemudian dinamai Gadjah
Surbakti.
Gadjah
Surbakti kemudian membuat kampung di Sitelu Kuru dan dinamakan Kampung
Gadjah. Dengan demikian, tidak heran apabila terjadi hubungan yang erat
antara masyarakat di Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu Lingga, dan
marga Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni Ator
Surbakti, Nangmelias Br Surbakti, dan Adir Surbakti.
Adir
Surbakti kemudian mendirikan kampung di Sembuaikan di kaki Gunung
Sibayak dan menamakan Songgal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia
kemudian memeluk Agama Islam tahun 1632. Adir mempunyai anak sepuluh
orang anak, yaitu sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang
Baluan. Di antara anak laki-lakinya bernama Mahbub dan Borang. Adir
adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu kekuasaanya cukup kuat
meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari
1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh
menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Melihat
Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang Karo
di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan sebagai akses untuk dapat
memengaruhi Raja Raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya itu
kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada masa itu dibuatlah
kesepakatan yang dinamakan Konfederasi Deli. Deli menjadi Anak Beru
Sunggal dan Sunggal berperan sebagai Ulon Janji.
Di
antara anak laki-laki Adir adalah Mahbub Surbakti yang menggantikannya
sebagai raja. Pusat kekuasaan Kerajaan Sunggal dipindahkan ke
Kinangkung. Ia mempunyai dua orang anak, yakni Bubud Surbakti dan Tobo
Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari tahun 1651-1667 yang kemudian
digantikan oleh anaknya Bubud Surbakti. Bubud Surbakti memerintah
Sunggal dari tahun 1667 sampai 1792. Ia memindahkan pusat kekuasaannya
di Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak yaitu
Andan/Undan Surbakti dan Nang/Dayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini
menikah dengan Panglima Magedar Alam dari Deli. Pada 1723 terjadi
perebutan takhta di Kesultanan Deli, setelah Panglima Paderap meninggal
dunia. Seorang putranya bernama Umar terusir dari Deli dan kemudian
menemui Raja Sunggal yang merupakan Kalimbubu untuk melaporkan situasi
di Deli. Raja Sunggal kemudian memanggil Raja Urung Sinembah, Tanjung
Morawa, dan Utusan Aceh. Dari musyawarah itu ditetapkan bahwa Umar
menjadi Raja Serdang dengan Gelar Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik
bangsawan Deli maupun Serdang adalah anak cucu Raja Urung Sunggal Marga
Surbakti.
Andan/Undan
Surbakti menggantikan ayahnya Bubud Surbakti yang memerintah antara
tahun 1792 – 1891, dan memindahkan pemerintahannya ke Tanjung Selamat.
Ia mempunyai enam orang anak laki-laki, yaitu Datuk Amar laut, Datuk
Jalaluddin, Datuk Keteng, Datuk Kojat, Datuk Bajing, Datuk Nahu, dan dua
orang perempuan, yaitu Aja Manyak dan Aja Gadih.
Datuk
Amar Laut Surbakti adalah penerus takhta Sunggal yang memindahkan pusat
pemerintahannya ke Jejabi. Ia memerintah dari tahun 1821-1845,
mempunyai empat orang anak, 3 laki-laki dan seorang perempuan. Mereka
adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti, dan
Datuk Muhammad Dini Surbakti. Datuk Abdul Jalil mempunyai sembilan orang
anak, yaitu Datuk Sulung Barat, Datuk Riaw, Datuk Lintang Siak, Datuk
Lingga, Datuk Segel, Datuk Long Putra, Aja Dembam, Aja Noor, Aja Intan
Lara. Datuk Abdullah Ahmad mempunyai delapan orang anak. Datuk Mohammad
Dini gelar Datuk Kecil mempunyai anak Olong Hasym, Datuk Ali Syafar,
Datuk Ali Usman (Datuk Torong), Aja Iting. Pada masa pemerintahannya,
Sunggal melepaskan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan Aceh.
Sunggal mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan cap
berlambang gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa
ini Panglima Magedar Alam berusaha menaklukkan Sunggal tetapi gagal.
Datuk
Abdullah Ahmad Surbakti naik takhta pada 1845 – 1857 menggantikan
ayahnya dan memindahkan pusat pemerintahan ke Sunggal yang letaknya
sekarang adalah di sekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal,
Medan.
Ia diberi gelar Datuk Indera Pahlawan. Beliau mempunyai delapan orang
anak, 6 laki-laki dan 2 perempuan, yakni Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd.
Lazim, Datuk Mohd. Darus, Datuk Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar,
Datuk Mohd. Alif, Aja Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Pada masa
pemerintahan Datuk Mohammad Bahar Sunggal diresmikan dengan nama lain,
yaitu Serbanyaman. Ikatan dengan Deli dan Aceh dibangun kembali,
termasuk institut Ulon Janji. Datuk Mohd. Lazim mempunyai anak delapan
orang, yaitu Aja Itam (Olong), Aja Cermin, Datuk Mohd. Gazali, Aja
Tipah, Datuk H. Mustafa, Aja Totop, Aja Ramsiah, Aja Nambok. Datuk
Mohamad Mahir mempunyai empat orang anak, yaitu Aja Sukma, Aja Saerah,
Datuk Man, dan Datuk Yusuf. Ketika Datuk Akhmad meninggal dunia pada
1857, Datuk Badiuzzazman masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah
keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai
Datuk Badiuzzazman dewasa. Datuk Kecil memimpin Sunggal sampai tahun
1866. Datuk Badiuzzazman Surbakti diangkat menjadi raja
Sunggal/Serbanyaman tahun 1866 dengan Gelar Datuk Sri Diraja Indra
Pahlawan sampai tahun 1895.
Silsilah Keturunan Datuk Chairil Anwar Surbakti
Datuk
Chairil Anwar Surbakti adalah seorang bumi putera yang berasal dari
keturunan suku Karo-Melayu, suku di Sumatera Utara. Berikut ini silsilah
keturunan dari awal hingga kini Si Jolol Karo Karo
Anak termuda dari Raja Pak Pak (Dairi) kampong Lingga Raja, bersaudara beberapa orang, satu orang puteri. Ketika ayahnya sakit keras singgahlah di kampong Lingga Raja seperangkatan dukun (7 orang dukun) “Guru Pakpak Pitu Sidalanen” yang bernama “ercikenken tungkatna malekat”, dan “erpustakaken pustaka najati”. Setelah mendiagnosa penyakit yang diderita raja tersebut maka diberitahukanlah kepada kemberahen (permaisuri) raja, bahwa raja dapat sembuh bila dibuat “perselihi raja” yakni dengan membuangkan harta yang paling disayangi raja bersama kemberahennya. Ternyata perselihi yang dimaksud adalah salah seorang puteranya. Maka diadakanlah pekerjaan “perselihi” dengan memotong kerbau, dan terungkap bahwasanya putera yang paling disayang oleh raja dan kemberahen adalah putera bungsunya (Si Jolol Karo Karo), dengan memberi makan diatas daun ujung pisang yang sudah dibubuhi makan-makanan buat perselihi, yakni pisang, bunga-bunga, cimpa mbun-bunen (sebangsa kue) dan lain-lain. Sebelum meninggalkan kampong halaman, raja memberi petuah kepada anaknya “ Pergilah engkau dengan selamat, dan bawalah olehmu segenggam tanah dari sini dan air setabu, apabila engkau hendak memilih tempat tinggal, hendaklah tanah dan air disitu engkau bawa, semoga Allah akan memberkatimu, sampai keturunanmu nanti sebagai bintang di langit banyaknya”. Maka berjalanlah anak tersebut dan mengambil arah “cabal tekang” (dari Selatan ke Utara). Setelah 4 hari lamanya penyakit raja berangsur sembuh kemudian ia membisikkan kepada anaknnya yang tertua untuk menyusul adiknya. Kemudian dengan berkuda anak tertua tersebut menyusul adiknya setelah beberapa waktu lamanya, dia menemukan adiknya disuatu tempat setelah menyusruh kudanya untuk berteriak sekuat-kuatnya. Setelah pertemuan itu keduanya berpencar dan mengembara, si bungsu ke Utara dan si sulung kearah Barat. Si bungsu (Si Jolol Karo Karo) sampai dilembah Uruk Gungmbelin dekat kampong Lingga sekarang. Disana dia membuat tempat (barung-barung), dan menikah. Dari perkawinan tersebut mendapat 3 orang anak lelaki (si Tembe, Si Cibu, si Serukati )dan 1 orang perempuan (si Tambarmalem). Ia bersama anaknya si Tembe dan Si Tambarmalem berdiam di kampung tersebut dan menamainya Kampung Lingga diambil menurut nama kampung asal Linggaraja. Si Cibu kembali berjalan kearah Selatan dan mengadakan tempat disuatu huta yang dinamainya Kacaribu. Si Serukati berjalan ke arah Utara dan disana mengadakan tempat barung-barungnya pada suatu hutan yang baik dan dinamainya Surbakti (kampung Surbakti sekarang).
Si Serukati/Sirukati Karo Karo Surbakti
menjadikan suku merga Surbakti . Mempunyai dua orang anak lelaki bernama Kebal Surbakti dan Sirsir/Ssser Surbakti. Si Tembe di kampung Lingga mempunyai anak (si Belin, si Kencayaingan, si Buah, si Jandi (Ulun Jandi) dan lain-lain), turunan si Kacaribu mendirikan kampung Kutagerat dan Gunung Juhar.
Sirsir/Sesser Surbakti
Bersaudara 4 orang.Salah seorang saudaranya bernama
Kebal Surbakti turun gunung membuat perkampungan
Di Lingga.Sedangkan Sirsir/Sesser Surbakti
Mengembara sampai ke Tanah Alas Gayo di Lingga
Raja,terus Ke Torong dan membuat perkampungan.
Si Gajah
Mendirikan kampung di Sitelu Kuru dan dinamakan
Kampung Gajah,maka hubungan Sunggal dengan
Si Telu Kuru ,Penghulu Gajah,Penghulu
Lingga dan Surbakti sangat erat.Mempunyai 3 orang
Anak Ator Surbakti,Nangmelias Br Surbakti dan Adir
Surbakti.
Adir Surbakti (1629 – 1651)
Mendirikan perkampungan di Sembuaikan di kaki
Gunung Sibayak memeluk agama Islam pada
Tahun 1623,di Islamkan oleh Datuk Kota Bangun
Mempunyai 10 orang anak ,9 orang laki-laki dan 1
Orang perempuan bernama Nang Baluan Br Surbakti.
Dimasa pemerintahan Adir Surbakti kerajaan Sunggal
Merupakan daerah terkuat diantara daerah bekas
Reruntuhan kerajaan Aru II di Deli Tua,yang
Dikalahkan Aceh pada tahun 1612,dimana Sultan
Iskandar Muda mengangkat Gocah Pahlawan
Sebagai wakilnya di kerajaan tersebut.
Datuk Hitam Surbakti
Saudara perempuannya Nang Baluan kawin dengan
Gocah Pahlawan pada tahun 1632 dengan
Dibuatnya kesepakatan yang dinamakan
Konfederasi Deli.Dari perkawinan ini lahir raja-raja
Deli dan Raja-raja Serdang karena Sunggal memberi-
Kan ulayat (Daerahnya) kepada Deli dan Serdang
Selaku Kalibubu kepada Anak Beru, dan mengangkat
Sultan Baru ,selaku turunan Ulon Janji.
Mahbub Surbakti (1651 – 1667)
Pengganti Adir Surbakti dengan pusat pemerintahan
Di Kinangkung mempunyai 2 orang anak laki-laki
Bernama Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti.
Bubud Surbakti (1667 – 1792)
Pengganti Mahbub Surbakti dengan pusat
Pemerintahan di Tanjung
Anak Andan/Datuk Undan Surbakti dan
Nang Sermaini Br Surbakti.Ketika Sultan Deli
Panglima Paderap mangkat pada tahun 1723 terjadilah
Perebutan tahta di kalangan puteranya,sehingga
Puteranya dari istrinya yang bernama Puan Sampali
Yang bernama Umar terusir dari Deli,kemudian Umar
Menemui Raja Sunggal yang merupakan Kalimbubu
Untuk melaporkan hal tersebut.Kemudian
Raja Sunggal memanggil Raja Urung Sinembah dan
Raja Urung Tanjung Merawa merga Saragih Dasalak
Dan utusan Aceh Kejuruan Lumu mengangkat Umar
Menjadi Raja Serdang dengan gelar Tuanku Umar.
Oleh karenanya baik bangsawan Deli dan bangsawan
Serdang adalah juga anak cucu Raja Urung Sunggal
Merga Surbakti.
Datuk Andan/Undan Surbakti (1792 – 1821)
Pengganti Bubud Surbakti dengan pusat pemerintahan
Di Tanjung Selamat,mempunyai 8 orang anak,
6 orang anak laki-laki Datuk Amar Laut Surbakti,Datuk
Datuk Jalaluddin Surbakti,Datuk Keteng Surbakti,Datuk Kojat
Surbakti,Datuk Bajing Surbakti,Datuk Surbakti dan 2 orang
Anak perempuan Aja Manyak br Surbakti dan
Aja Gadih br Surbakti. Adik perempuannya Dayan
Sermaidi kawin dengan
Panglima Mangedar Alam dari Deli..
Datuk Amar Laut Surbakti (1821 – 1845)
Pengganti Datuk Andan/Undan Surbakti dengan pusat
Pemerintahan di Jejabi,mempunyai 4 orang anak,
3 orang anak laki-laki Datuk Abdullah Ahmad
Surbakti,Datuk Abdul Jalil Surbakti,
Datuk Muhammad Dini Surbakti dan 1 orang
Anak perempuan. Pada tahun 1822 Sultan Deli
Panglima Mangedar Alam Ingin menaklukkan
Sunggal, tahun 1822 dan gagal.
Pada tahun 1823, Sunggal melepaskan semua ikatan
Yang pernah ada dengan Deli, mengeluarkan cap dan
Bendera sendiri,meresmikan Sunggal Merdeka.
Datuk Ahmad (Abdul Hamid) Surbakti, Datuk Sri Indera Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji (1845 – 1857)
Pengganti Datuk Amar Laut Surbakti dengan pusat
Pemerintahan di Sunggal (sekarang Jl.PAM.Tirtanadi)
Mempunyai 8 orang anak, 6 orang anak laki-laki Datuk
Mohd.Mahir Sri Indera Pahlawan Surbakti,
Datuk Mohd.Lazim Sri Indera Pahlawan Surbakti
Datuk Mohd.Darus Sri Indera Pahlawan Surbakti,
Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti
Datuk Mohd.Alang Bahar Sri Indera Pahlawan
Surbakti,Datuk Mohd Alif Sri Indera Pahlawan
Surbakti dan 1 orang anak perempuan
Aja Amah/Olong Surbakti.
Pada masa ini Sunggal meresmikan namanya
yang lain Serbanyaman.
Pada masa ini Sultan Osman I kembali berhubungan
Dengan Sunggal dan Aceh,dan Instituut Ulon Janji
Kembali diaktifkan.
Datuk Ahmad mempunyai dua
Orang saudara laki laki,Datuk Jalil Surbakti kawin
Dengan puteri Selesai, mempunyai anak Sulong Barat
Sulong Putera ,seorang anak perempuan,dan Datuk
Kecil (Mahini) Surbakti kawin dengan puteri Selesai mempunyai anak 2 orang ,1 orang anak laki-laki bernama Suman dan 1 orang anak perempuan..
Atas permufakatan keluarga diangkat sebagai pemangku kerajaan Sunggal pada tahun 1857 (saat
Itu Datuk Badiuzzaman Surbakti baru berusia 12 tahun,dan diamanatkan untuk menggantikan Ayahnya Datuk Ahmad Abdul Hamid Sri Indera Pahlawan Surbakti)
Mempunyai anak ,Suman dan seorang putra lain.Memimpin kerajaan Sunggal sampai dengan tahun 1866.
Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti (1866 – 1895)
Menjadi Raja Urung Sunggal serbanyaman pada saat berumur 21 tahun,mempunyai 7 orang anak, 4 orang anak laki-laki Datuk Mohd Munai Surbakti,Datuk Mohd Inggot Surbakti,Datuk Ralit Surbakti,Datuk Kinu Surbakti dan 3 orang anak perempuan Aja Itam Buruk br Surbakti,Aja Itam Merah br Surbakti dan Aja Loyah br Surbakti.
Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti dan Datuk Muhammad Alang Bahar Sri Indera Pahlawan Surbakti,adalah dua orang pahlawan perang Sunggal (1872-1895) yang sejak tahun 1873 dengan didukung oleh rakyatnya,yaitu rakyat Serbanyaman Sunggal dan suku karo lainnya mengadakan pembakaran terhadap bangsal – bangsal tembakau maskapai Belanda Deli Maskapai,dan
De Rotterdam, karena telah merampas tanah mereka ,akibat diserahkannya tanah tersebut oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam (Deli),kepada Belanda, dengan perang grilya selama lebih dari 20 tahun yang merupakan perang yang memakan waktu paling lama di Indonesia, ini dibuktikan dengan keluarnya Besluit No.3 tanggal 20 Januari 1895 yaitu pembuangan seumur hidup atas pahlawan sunggal oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu Datuk Badiuzzaman Surbakti ke Cianjur dan Datuk Alang Muhammad Bahar ke Banyumas,ketika kabar ini sampai ke Sunggal maka 3 bulan rakyat Sunggal berkabung sebagai tanda hormat dan kesetiaan mereka terhadap kedua pejuang tersebut.Sampai sekarang kuburan kedua Datuk tersebut dihormati oleh penduduk Cianjur dan Banyumas, dan dikenal dengan julukan Makam Raja Deli.
Datuk Muhammad Munai Surbakti
Mempunyai 6 Orang anak laki-laki :
1.Datuk Muhammad Jalip Surbakti.
2.Datuk Muhammad Hasan Surbakti.
3.Datuk Muhammad Hitam Surbakti.
4.Datuk Muhammad Nur.
5.Datuk Muhammad Bagus.
6.Datuk Harmansyah.
Sedangkan adik Datuk Badiuzzaman Surbakti,yaitu
Datuk Alang Muhammad Alang Bahar Sri Indera Pahlawan Surbakti mempunyai
13 orang anak yaitu :
a.Dari Istri Aja Jambu mendapatkan anak : Datuk
Apuk,Datuk Armia,Aja Sakti,Aja Asbah,Aja
Patimah Syam,Aja Lio,Aja Kalsum,dan Datuk
Syahbuddin.
b.Dari Istri Encik Surat mendapatkan anak :Aja
Tepak,Datuk Hod,Aja Ramah dan
DATUK SONET MAINAN Sri Indera Pahlawan
SURBAKTI .
c.Dari istri Nyati mendapatkan anak : Aja Imah.
Datuk Muhammad Hitam Sri Indera Diraja Surbakti.
Mempunyai 5 orang anak dengan istri Aja Mili yaitu:Aja Miliunnah Surbakti,Datuk Ahmad Nil Surbakti,AJA MAHNON br SURBAKTI,Aja Nuraini Surbakti,Datuk Agustin Surbakti.
Datuk Sonet Mainan Surbakti mempunyai 11 orang anak dan istri bernama Saleha yaitu : DATUK ANWARSAL SURBAKTI, Aja Mariani Surbakti,Aja Aidia Surbakti,Aja Warca Surbakti,Datuk Ainu Harsun Surbakti,Aja Nuriani Surbakti,Datuk Ihsan Surbakti,Aja Ranian Surbakti,Datuk Syariful Surbakti,Datuk Mansyursyah Surbakti,Aja Habsyah Surbakti.
Aja Mahnon Surbakti.
Kawin dengan Datuk Anwarsal Surbakti mempunyai 5 orang anak yaitu :
1.Aja Zubaidah Surbakti.
2.Aja Warnon Surbakti.
3.Aja Chairanum Surbakti.
4.Datuk Umani Mahyuddin Surbakti.
5.DATUK CHAIRIL ANWAR SURBAKTI.
Datuk Chairil Anwar Surbakti.
Kawin dengan Rosiana Simatupang mempunyai 4 orang anak yaitu :
1AJA CHAIRINA RAHMAH SURBAKTI.
2.DATUK ABDUL JABBAR SHIDDIQAL CHAIR
FATHANAH SURBAKTI.
3.DATUK ABDUL RAZZAQ TABLIGHUL CHAIR
AMANAH SURBAKTI.
4.DATUK ABDUL HAFIIZH TABLIGHUL CHAIR
AMANAH SURBAKTI
Perlawanan Kerajaan Sunggal Terhadap Kolonialisme Belanda
Masyarakat
di Indonesia sebelum kedatangan kolonialisme Belanda adalah
masyarakat agro-maritim. Masyarakat tidak hanya hidup dari usaha
pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga perdagangan
antarpulau, bahkan dengan negara-negara tetangga.
Pedagang-pedagang
dari pantai utara Jawa, seperti Jepara, Demak, Rembang, atau Tuban
berlayar ke arah timur menuju Maluku, Nusa Tenggara, untuk menukar
berasnya dengan kayu cendana, damar, pala, merica untuk dijual ke
Tumasik (Singapura) atau ke pasar internasional di Malakka. Kesultanan
Aceh sudah membina hubungan diplomatik yang rapat dengan Kerajaan
Turki Ottoman, Inggris, maupun Cina.
Sementara
itu, pedagang-pedagang dari Sumatera Barat juga sangat akrab dengan
Malakka yang waktu itu menjadi pusat perdagangan. Struktur masyarakat
adalah struktur feodal atau kerajaan dengan raja, panembahan, atau
datuk beserta keluarga berperan sebagai elite yang memimpin
masyarakatnya. Ketika kekuatan kolonialisme Belanda datang, golongan
atau kelas pedagang belum sempat mengalami transformasi menjadi kelas
menengah yang membawa perubahan masyarakat yang lebih egaliter dan
modern dengan budaya industri. Masyarakat pesisir yang hidup dari
perdagangan sedikit demi sedikit tersisih, karena kedaulatan daerah
pesisir diserahkan kepada kekuasaan Kompeni Belanda. Penyerahan itu
dilakukan sebagai kompensasi atas bantuan militer dalam perang suksesi
raja-raja maupun sebagai ganti rugi atas kekalahan perang terhadap
kekuasaan kolonial. Sementara itu, masyarakat pedalaman yang umumnya
agraris dengan pola ekonomi swasembada dan elite kerajaan yang
memerintah harus menghadapi perubahan-perubahan radikal, karena
penguasaan kolonialisme Belanda atas sumberdaya alam maupun sumberdaya
manusia demi keuntungan negara induknya, dengan liberalisasi dan
swastanisasi hampir di semua aspek kehidupan. Struktur pemerintah
tradisional dengan raja atau bupati tetap dipertahankan tetapi hanya
sekadar perpanjangan tangan kebijakan kolonial. Di daerah yang
tradisinya kuat, seperti di Jawa maka sistem pemerintahan tidak
langsung (indirect rule) dijalankan oleh Belanda. Sementara untuk
lingkungan masyarakat yang lebih egaliter, seperti di daerah Sumatera
Timur dan Utara, Belanda menerapkan pemerintahan langsung (direct
rule).
Menghadapi
kekuatan modal dan kekuasaan politik asing yang luar biasa, reaksi
masyarakat itu bermacam-macam, ada yang takluk menyesuaikan diri,
bergabung dengan penguasa baru yang datang, atau menolak dengan cara
melawan kekuatan kolonial itu. Sikap, usaha, dan perjuangan mereka
yang menolak kekuatan asing untuk mengatur dan mengeksploitasi
penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungannya itu merupakan embrio
bagi semangat nasionalisme yang menjadi dasar bagi pembentukan suatu
bangsa. Perjuangan dan jerih payah serta pengorbanan mereka yang luar
biasa memiliki nilai simbolis sebagai bagian dari tahapan kelahiran
bangsa Indonesia.
Dalam cita-cita, jerih payah, dan pengorbanan harta serta jiwa raga
merekalah, bangsa ini dilahirkan dan dibesarkan hingga saat sekarang.
A. Politik Kolonial Belanda di Sumatera Abad XIX
Liberalisme
sebagai ideologi yang melanda Eropa Barat ternyata juga sangat
memengaruhi politik kolonial terhadap tanah jajahan. Sistem Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) yang ditetapkan dalam Regering Reglement
(Peraturan Pemerintah) tahun 1836 oleh Gubernur Jenderal van den Bosch
telah membuat Negeri Belanda yang semula defisit bisa menikmati
surplus yang besar (batig slot). Pada waktu itu belum ada pemisahan
antara kas Belanda dan kas Hindia Belanda, sehingga uang dari Hindia
Belanda terus masuk kas di negeri Belanda. Antara 1836 - 1887 mencapai
jumlah besar, yaitu f. 823 juta. Perlu diketahui pada tahun 1920-an,
buruh atau kuli dapat hidup (makan dan minum) dengan uang “sebenggol”
(0,5 sen) sehari. Untuk mempertahankan keuntungan yang besar dari
tanah jajahan, pemerintah kolonial mengundang sektor swasta untuk
menanamkan modalnya. Lewat usaha para penanam modal itu, ekspor dari
sektor swasta yang besarannya hanya sepertiga dari keseluruhan ekspor
pada 1856 dapat ditingkatkan menjadi separo pada 1865. Tanah dapat
disewakan dalam jangka panjang mulai dari 20 tahun hingga 75 tahun
atau lebih. Sayangnya pada masa itu harga-harga komoditas mengalami
fluktuasi yang sukar diprediksi. Fluktuasi atau naik turunnya harga
itu dipicu oleh kemajuan komunikasi dengan dibukanya Terusan Suez pada
1869 dan penggunaan kapal uap yang kemampuan jelajahnya lebih cepat
dari kapal layar biasa. Harga gula dan kopi jatuh. Ekspor kopi
mengalami kemerosotan, sementara pabrik gula menjadi sulit karena
penyakit sereh yang melanda tanahaman tebu tahun 1882.
Harga
gula juga turun drastis karena persaingan ketat dengan gula biet dan
gula dari Amerika. Meskipun sempat mengalami booming ekspor, tanaman
kopi juga diserang habis oleh hama
tanaman sehingga perlu mendatangkan jenis kopi lain, yaitu coffea
Arabica dengan coffea Liberea dan kemudian dengan coffea Robusta.
Tanaman lain yang mulai dicoba adalah tanaman karet yang tidak menarik
bagi rakyat jajahan karena di samping memerlukan modal besar juga
bersifat jangka panjang. Seperti diketahui, karet bisa dipanen atau
disandap setelah berusia 8 tahun ke atas. Untuk mengatasi keadaan itu,
pemerintah mengadakan proses diversifikasi ekspor, tidak mengherankan
bila pada 1885 ada 115 jenis barang ekspor, dan pada 1905 terdapat
229 jenis. Di antara jenis baru yang menonjol, seperti Kina sejak
1880, Karet sejak 1890; Kopra sejak 1885.
Arus
liberalisasi itu mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mencari
peluang industri pertambangan, seperti batubara, timah (1865), minyak
tanah (1890), dan batu pualam sebagai alternatif dari sektor pertanian
atau agribisnis yang sudah mendapat saingan berat di pasaran dunia.
Pemerintah kolonial melihat keuntungan yang bisa ditangguk bukan hanya
di produksi komoditas ekspor (planter), tetapi juga dari monopoli
sektor perkapalan dan perdagangan yang semula hanya dipandang sebagai
usaha sampingan. Dalam perkembangan kenaikan barang ekspor terlihat
bahwa semakin besar hasil-hasil yang dieksploitasi dari daerah luar
Jawa. Tanaman pangan (food crops) makin tersisih dengan pertumbuhan
tanaman untuk ekspor yang dijual (cash crops). Pemerintah Kolonial
memang lebih berpaling ke daerah luar Jawa, karena mobilisasi tenaga
di daerah pedesaan Jawa akan menghadapi banyak kesulitan yang muncul
akibat ikatan desa dan ikatan feodal masih mengekang tenaga rakyat,
Heeren-diensten (kewajiban untuk raja), pancen diensten (kewajiban
untuk menyerahkan sebagian hasil bumi kepada pejabat pemerintah), dan
desa diensten (kewajiban gotong royong desa) sudah sangat melembaga.
Ikatan-ikatan itu hanya dapat dikurangi atau dihapuskan dalam waktu
lama. Di Jawa Tengah, misalnya, wajib kerja dikaitkan dengan hak
menguasai tanah, di Jawa Timur, Madura, dan Jawa Barat, wajib kerja
lebih dihubungkan dengan keluarga (cacah).
Penanaman
modal dalam industri yang gencar dijalankan itu dibarengi dengan
kapitalisasi finansial dengan munculnya perusahaan-perusahaan swasta.
Usaha perusahaan itu diperlancar lewat kemudahan pembebasan tanah
dengan UU Agraria tahun 1870 dan murahnya upah buruh lewat Koeli
Ordonantie tahun 1880 (tepat 10 tahun setelah perdagangan budak resmi
dihapus atau dilarang) yang mengatur hubungan antara buruh atau kuli
dengan majikan, khususnya untuk daerah perkebunan di Sumatera Timur
dan daerah luar Jawa pada umumnya. Pada tahun-tahun itu juga dibuka
banyak bank yang dapat memberi kredit bagi perusahaan-perusahaan swasta.
Gubernemen juga mengeluarkan modal untuk membangun infrastruktur
seperti kereta api, irigasi, dan pelabuhan. Pada tahun 1878 UU Gula
menghapus tanam paksa gula sehingga gula menjadi komoditas yang secara
bebas diperdagangkan. Pola dan sistem pertanian yang pada masa
sebelumnya lebih bersifat swadaya (self suffieciency) diubah total
menjadi pertanian yang melulu mengabdi pada komoditas ekspor. Tanah
jajahan hanya menjadi sumber tenaga buruh yang murah dan wahana
eksploitasi sumberdaya alam untuk memperoleh keuntungan dalam pasaran
dunia. Perdagangan hanya menguntungkan negara industri yang menjajah
dan cikal bakal “industri” pribumi di pedesaan terdesak bahkan mati.
Dalam tahap ini pemiskinan negara jajahan dimulai. Tanaman pangan yang
menjadi andalan swasembada desa atau daerah terdesak dan bahkan tidak
mendapat tempat, karena merajalelanya tanaman ekspor yang digalakkan
dan bila perlu dipaksakan oleh pemerintah. Pemerintah kolonial
mendapat peluang untuk mendukung eksploitasi tanah jajahan dengan
proses swastanisasi itu dalam banyak sektor kehidupan, diiringi dengan
pemantapan administrasi birokrasinya. Dalam kaitan itu, pada 1855
didirikan departemen keuangan, pertambangan dan perkebunan, departemen
hasil-hasil tanaman dan pergudangan, departemen kultur gubernemen,
dan pekerjaan umum. Disusul juga dengan pendirian beberapa departemen
lain pada 1866 dan 1870, seperti departemen administrasi, pendidikan,
agama, industri, departemen kehakiman.
Perluasan Wilayah Kolonial Belanda
Perjanjian
antara Kerajaan Inggris dan Belanda yang disebut Traktat London tahun
1824 menyepakati bahwa Belanda dapat mengambil alih kembali tanah
jajahannya di Hindia Belanda dengan tetap menghormati kedaulatan
politik Aceh, Bali, dan kerajaan-kerajaan lain, seperti Siak, Deli,
Sunggal, dan Serdang. Dengan kerjaan Aceh pun Belanda mengikat
perjanjian damai pada tahun 1857. Langkah Belanda itu juga dibarengi
dengan diplomasi ke kerajaan Siak, sehingga tahun 1858 dicapai Traktat
Siak. Dalam perjanjian itu Sultan Siak meletakkan kerajaannya di
bawah pemerintahan Hidnia Belanda. Sebagai imbalannya Belanda mengakui
(pasal 2 ayat 2) kekuasaan Siak berlaku atas kesultanan Deli, Serdang
dan Asahan. Traktak Siak dipakai Belanda untuk menarik sultan-sultan
Deli, Serdang, dan Asahan secafra terus terang mengakui Sultan Siak
sebagai raja mereka. Dengan pengakuan atas Sultan Siak itu secara
tidak langsung mereka mengakui kekuasaan Belanda. Tindakan Belanda itu
oleh Sultan Aceh Alauddin Ibrahim Mansur Syah dianggap melanggar
kedaulatan kerajaan Aceh, karena Aceh mempunyai hak-hak (meskipun
tidak di seluruh Siak) di perbataasan bagian Utara, yaitu Deli,
Serdang,d an Asahan yang merupakan daerah pengaruh kesultanan Aceh.
Gubernur Jenderal di Batavia juga mengirim surat perintah kepada
Residen Riau, Schiff yang isinya untuk perintah untuk mengusahakan agar
kekuasaan Belanda berlaku di daerah-daerah pesisir Sumatera Timur yang
oleh Sultan Aceh masih dianggap sebagai wilayahnya secara tidak
langsung. Untuk melaksanakan perintah itu , Residen datang ke Deli,
Serdang, dan Asahan guna membujuk kepala-kepala derah tersebut. Hanya
Sultan Deli yang langsung menerima mau tunduk di bawah kekuasaan
Belanda. Oleh karena itu, sejak pertengahan tahun 1862 Belanda
menempatkan pasukannya di Deli, Langkat,d an Batu Bara.
Abad 19 dalam sejarah Indonesia
merupakan abad terjadinya penetrasi birokrasi dan kekuasaan kolonial
Belanda yang dibarengi dengan semangat kapitalisme di beberapa wilayah
Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
dibubarkan 31 Desember 1799, peran VOC diambil alih Pemerintah Hindia
Belanda. Kerajaan Belanda menempatkan Gubernur Jenderal di Batavia
sebagai perpanjangan tangannya. Melalui Gubernur Jenderallah
intensifikasi perdagangan dan eksploitasidigiatkan demi mengisi kas
kerajaan Belanda yang defisit , termasuk pengiriman ekspedisi militer
dan sipil ke luar Pulau Jawa. Pada pertengahan abad 19, sejumlah
pengusaha Belanda dan Eropa lainnya telah membuka perkebunan tembakau
yang besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di tanah Deli. Melalui
perkebunan, masyarakat Sumatera Timur (Deli) diperkenalkan dengan
nilai-nilai kapitalisme modern dan terjadilah interaksi antara
masyarakat yang daerahnya dipergunakan sebagai areal tanaman tembakau
dengan berbagai kehidupan perkebunan yang didiami bangsa Eroipa.
Interaksi ini sebenarnya berlangsung dalam suasana yang tidak
seimbang, yakni antara dua sisitem social yang sama sekali berbeda.
Interaksi ini pada gilirannya menimbulkan benturan antara masyarakat
Sumatera Timur (Deli) dengan para pendatang/pengusaha perkebunan
orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Benturan itu sering terjadi
karena pihak perkebunan membutuhkan banyak tanah-tanah konsesi yang
secara tradisional adalah milik para datuk/raja Urung mereka.
Keberhasilan
perusahaan perkebunan mencari tanah karena adanya dukungan politik
dari Sultan Deli dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Belanda
dan Sultan Deli memiliki kepentingan tersendiri. Pemerintah Belanda
berusaha menciptakan kawasan Sumatera Timur/Deli menjadi daerah
penghasil komoditi perdagangan untuk pasar Eropa. Tujuan ini sesuai
dengan politik pintu terbuka (opendoor politiek) yang sedang
dijalankan pemerintah Belanda mulai 1870. Opendoor Politiek dijalankan
dengan maksud mencari investor asing agar mau menanamkan modalnya
dalam industri perkebunan di Indonesia.
Untuk mencapai ambisi besar itu ada dua kebijakan penting yang
diambil pemerintah kolonial yakni pertama, menerapkan Undang-Undang
Agraria 1870 –perangkat hukum untuk memperoleh akses tanah konsesi -
dan menjaga “rust en orde” (stabilitas keamanan dan ketertiban) di
wilayah Hindia Belanda, termasuk Deli. Sultan Deli juga memiliki
kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan
perkebunan di Sumatera Timur. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang
didapatkan sangat menaikkan gengsi dan martabatnya dan sekaligus secara
juridis-politis wilayah kekuasaanya diakui pemerintah Belanda. Sebuah
usaha yang sebelum masuknya Belanda sudah dilakukan oleh Kesultanan
Deli baik secara damai (kawin politik) maupun secara kekerasan (perang
1822) untuk menguasai wilayah Sunggal.
Sebaliknya
adanya skenario besar dari dua kekuasaan itu menimbulkan malapetaka
bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal tidak dilibatkan dalam urusan sewa
tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah
Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan ekses terjadinya
kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dengan
sistem ekonomi modern/kapitalisme. Konflik terbuka antara rakyat
Sunggal dibawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang
Sunggal terjadi 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang
Agraria diterapkan di Hindia Belanda. Ini membuktikan bahwa konflik
itu (latar belakang perjuangan Datuk Badiuzzaman) erat sekali
kaitannya dengan masalah tanah. Menurut para tuan kebon yang pertama,
pada dasarnya para penguasa pribumi itu sebetulnya adalah orang-orang
biasa yang tidak jauh berbeda dengan para kawulanya. Semula
kekuasaanya mereka terbatas, tetapi kemudian kekuasaannya mereka menjadi
besar setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropah untuk
digunakan dalam jangka panjang, mereka menyerobot hak kepemilikan
tanah atas tanah yang sebelumnya tidak mereka punyai.
Dengan
Traktat Siak, pemerintah kolonial Belanda menemukan jalan pintas
untuk menuju daerah Aceh. Lewat bujukan Belanda dapat masuk ke Deli,
dan dengan kekerasan (Sunggal, Serdang,d an Asahan) kerajaan-kerajaan
itu hendak ditaklukkan. Penaklukan itu untuk mengepun kesultanan Aceh,
dari sebelah Barat infiltrasi militer bermarkas di Padang
(Gubernur Sumatra Barat) dan dari sebelah timur penyerangan
dipusatkan di Riau di bawah pimpinan Residen Riau, Schiff. Guna
mengamankan diri dalam kancah diplomasi inetrnasional, Belanda
mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Inggris, sehingga disepakati
Traktat Sumatera yang dibuat bersama Inggris tahun 1874 pemerintah
Belanda mendapat keleluasaan untuk memperluas kekuasaannya di Pulau
Sumatera, yaitu Dengan traktat itu pemerintahan kolonial Belanda
dibenarkan untuk melakukan—menurut istilah mereka--pasifikasi” (usaha
memperdamaikan dari kekacauan, baik karena ada pihak-pihak yang bertikai
dan berseteru maupun “pembudayaan” karena penduduk pribumi dipandang
masih “terbelakang”) di seluruh kerajaan-kerajaan di Sumatera. Konflik
itu menyangkut masalah tanah. Para
pemimpin bumiputera, baik para raja, bupati, pemimpin tradisonal, atau
elite lokal sebetulnya menghadapi masalah yang sama seperti
rakyatnya. Semula kekuasaanya mereka terbatas atas tanah mereka,
tetapi kemudian kekuasaan mereka menjadi besar setelah menyerahkan
lahan kepada para pengusaha Eropa untuk digunakan dalam jangka
panjang, berkat uang sewa yang mereka peroleh. Seturut UU Agraria
tahun 1870, semua tanah yang bukan milik masyarakat pribumi (kerajaan
tradisonal) adalah ranah pemerintah Hindia Belanda (domein van de
staat). Jadi, tanah-tanah yang ada bisa disebut “tanah bebas” yang
bisa disewa oleh baik warga negara Belanda di Nederland maupun yang
berada di Hindia Belanda atau kepada perusahaan yang terdaftar di
Hindia Belanda. Areal maksimal yang disewa sebesar 500 bau dengan sewa
antara f.1 sampai f.6. Tanah pribumi yang dikuasai berdasarkan hukum
adat hanya dapat disewa selama 5 tahun, sedangkan tanah milik mereka
untuk 20 tahun. Selanjutnya perjanjian harus terdaftar. Suatu akibat
dari peraturan itu adalah adanya kecenderungan menjadikan status tanah
yang disewakan diubah menjadi milik yang menyewa, sehingga para
pengusaha atau oknum aparat pemerintah, baik pihak bumiputera maupun
orang Belanda, dapat menekan biaya sewa tanah atau memperoleh kekayaan
lewat pencaplokan tanah-tanah rakyat itu. Keadaan itu dengan aneka
permainan dan trik khusus untuk menguasai tanah menjadi sumber konflik
sosial yang besar.
Konflik atau pergolakan di daerah, seperti daerah Deli dan Sunggal merupakan akibat langsung dari proliferasi masyarakat di Indonesia. Artinya, interaksi masyarakat Indonesia
demikian majemuk dari suku, kepentingan, budaya, maupun agama dalam
dirinya sendiri mudah atau rentan terhadap konflik yang sebetulnya
internal. Sultan Deli dan Datuk Sunggal karena berbeda kepentingan dan
“pandangan politik” menjadi berseberangan dalam menghadapi kekuasaan
Belanda. Oleh karena itu, dalam setiap konflik selalu ada peluang bagi
Belanda untuk mempasifikasikan dan menanamkan kekuasaan serta
mengatur pemerintahannya. Dapat dikatakan, tanpa politik divide et
impera (membagi dan menguasai) pun, masyarakat di Indonesia
yang terdiri dari aneka suku, agama, kebudayaan, adat-istiadat, dan
kebudayaan rawan akan konflik sosial. Apalagi dengan kehadiran kekuatan
asing yang memang memanfaatkan secara optimal konflik-konflik itu
agar lebih mudah mengadakan eksploitasi tanah jajahan bagi kepentingan
negera induknya. Di Sumatera Utara pada 1850 timbul pergolakan maka
Belanda bertindak cepat dengan menyusun pemerintahan secara langsung.
Setelah membuka perkebunan di Besuki, Jawa Timur sejak 1861 Nienhuys
pada bulan Juli tahun 1863 pergi ke Sumatera untuk memperluas usahanya
di daerah itu. Dengan percobaan sederhana dia membuka 75 ha
perkebunan tembakau di Deli. Daerah Deli terletak di Sumatera Timur
antara Aceh dan Asahan; atau tepatnya daerah antara Serdang, Tanah
Karo, dan Langkat. Daerah itu merupakan dataran rendah (aluvium) yang
meninggi sampai 700 m di atas permukaan laut sehingga ada sebagain
daerah itu yang merupakan dataran tinggi. Sungai-sungai daerah itu
bermuara di Selat Malakka. Di daerah itu tidak dikenal musim kering,
karena sepanjang tahun tetap bisa turun hujan. Dengan suhu udara
sedang sekitar 26,7 derajat Celcius maka daerah ini cocok untuk daerah
pertanian. Hasil kerja Nienhuys di tanah Deli mewujudkan satu muatan
tembakau pertama sampai di Rotterdam
pada bulan Maret 1864, setelah mengalami dan mengatasi berbagai
kesulitan dan kegagalan. Usaha itu berhasil berkat dukungan
perusahaan, seperti van den Arend dan Mathieu & Co pada 1865
dapat dikirim 189 bal tembakau. Untuk produksi itu Nienhuys telah
mengerahkan tenaga kerja Cina dari Singapura sebanyak 120 orang. Ia
mengusulkan investasi pembukaan perkebunan kopi, cokelat, dan kelapa.
Sayangnya, usulan tersebut waktu itu belum dipandang memiliki prospek
yang baik sehingga tidak ada yang mau menerima. De Munnick sebagai
pengganti Nienhuys sebagai pimpinan usaha perkebunan pada 1887 mulai
membuat kontrak untuk 99 tahun tanah perkebunan sebesar 2.000 bau.
Sementara itu, datang juga pengusaha perkebunan baru Moss dan Baker
dari Swiss dan von Mach dari Jerman. Kecuali perkebunan tembakau
mereka juga tertarik mengusahakan pala dan kelapa. Tanah untuk kedua
tanaman itu disewa langsung dari rakyat. Rupanya usaha pengusaha kebun
itu berhasil. Dari hasil ekspor dari Kesultanan Deli antara tahun
1863- 1867 diketahui bahwa ekspor tembakau dan lada mengalami
peningkatan yang signifikan, sementara untuk lada hitam dan buah pinang
yang dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan. Setelah berhasil
mengumpulkan modal kembali, Nienhuys kembali ke Sumatera Utara dan
membuka perkebunan yang terletak antara Sungai Deli dan Sungai Percut.
Hasil ekspornya pada 1868 memberi keuntungan 100% lebih besar, maka
dibentuk N.V. Deli Maatschappij dengan separo modalnya dari
Nederlandsch Handels Maatschapij. Kisah sukses Nienhuys itu mengudang
banyak pemodal Eropa datang, seperti perkebunan Carlsruhe,
Vesuvius, Catsburg, dan Hospitality. Deli Maatschapij memperluas
usahanya dengan membuka perkebunan kopi pada 1880 dan karet pada 1901.
Daerah operasinya meliputi Deli, Serdang, dan Langkat dengan luas
arealnya bertambah dari 7000 ha menjadi 180.000 ha.
Kisah
sukses Deli Maatschapij itu tidak lepas dari dukungan Sultan Deli
yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya
pembangunan perkebunan di kawasan itu. Secara ekonomi besarnya uang
sewa yang didapatkan sangat menaikkan pendapatan, kekayaan, dan juga
martabatnya sebagai seorang sultan. Secara juridis-politis, wilayah
kekuasaanya diakui pemerintah Belanda dan dengan kesamaan kepentingan
ekonomi itu, lebih mudah beraliansi politik dan militer dalam
menghadapi kerajaan tetangganya, yaitu Sunggal. Usaha untuk menguasai
Kerajaan Sunggal sudah dijalankan oleh para sultan Deli sebelum
Belanda masuk ke wilayah itu, baik usaha secara damai lewat politik
perkawinan keluarga kedua kerajaan itu, maupun secara kekerasan lewat
perang pada 1822 agar dapat menguasai wilayah Sunggal. Sebaliknya,
kekuasaan Belanda dan Deli yang berkolaborasi menimbulkan masalah bagi
rakyat Sunggal. Datuk Sunggal dengan sengaja tidak dilibatkan dalam
urusan sewa tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan
pemerintah Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan akibat
dari kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dan
sistem ekonomi kapitalistik yang datang dengan modal besar dan
didukung oleh kekuatan hukum dan politik yang kuat. Konflik terbuka
antara rakyat Sunggal di bawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda
dikenal dengan Perang Sunggal, dimulai pada tanggal 15 Mei 1872, tepat
dua tahun setelah undang-undang Agraria diterapkan di Hindia Belanda.
Pada awalnya prosesnya begitu gampang. Residen Riau yang ketika itu
membawahi Sumatera Timur secara terbuka menawarkan Deli sebagai daerah
untuk perkebunan swasta. Sejalan dengan itu, maka pada 1866 Sultan
Mahmud dari Deli menyerahkan tanah yang sangat luas memanjang dari
Mabar sampai ke hulu Deli Tua, antara Sungai Deli dan Percut (sekitar
12.000 bau) untuk masa sewa selama 99 tahun tanpa pajak kepada
Nienhuys dan dua orang Swiss dan seorang Jerman untuk ditanami
tembakau.
Pada
masa awalnya proses budidaya tembakau masih tetap menggunakan cara
tradisional, yakni memberikan “uang muka” (voorscot) pada orang Batak
Karo untuk mau menanami lebih banyak tembakau di lahan konsesi untuk
mereka. Akan tetapi, upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan.
Nienhuys akhirnya memutuskan untuk membuka perkebunan sendiri dengan
menggunakan tenaga kuli, namun orang Melayu dan Batak tidak bersedia
menjadi tenaga kuli. Kesulitan akan tenaga kerja kemudian dapat
diatasi dengan merekrut tenaga kuli Cina dari luar. Awalnya para kuli
ini menerima uang muka dari sejumlah uang yang akan diberikan oleh
Nienhuys pada waktu musim tanam berakhir, yang besarnya sangat
tergantung pada jumlah dan mutu tembakau yang dipanen. Pada waktu itu,
sistem kerja upahan belum berlaku. Yang ada adalah sistem kerja
borongan. Para mandor dari kelompok
kuli Cina bertindak sebagai pemborong. Kepadanya diberikan sebidang
tanah dan bibit yang pada akhir musim tanam harus dijual kepada
pemberi borongan.
Sejak
1870 mulailah dibuat kontrak langsung dengan masing-masing kuli dan
para mandor diangkat sebagai pengawas. Adanya campur tangan langsung
pengusaha dalam pengorganisasian produksi menandai terjadinya
peralihan ke kapitalisme industri yang sesungguhnya di Sumatera Timur.
Tidak lama kemudian terbukti bahwa tembakau Deli merupakan produk
yang paling menguntungkan di pasar Eropa. Untuk usaha budidaya
tembakau dalam skala besar dibutuhkan modal yang banyak. Atas
keberhasilan Nienhuys maka para pemodal Eropa berlomba menanam
investasi di industri perkebunan tembakau di Deli. Jumlah perkebunan
meningkat dari 13 pada 1873 menjadi 23 pada 1874 dan hingga 1876 sudah
ada 40 perkebunan yang beroperasi di Deli, Sumatera Timur. Sejalan
dengan itu, berbagai bangsa berada di kawasan ini, seperti Belanda,
Swiss, Jerman, Polandia, Inggris, Denmark,
Cina, Keling, dan Jawa. Orang Cina bahkan telah mencapai 7.600 orang
atau rata-rata kurang dari 200 orang di tiap perkebunan. Keberhasilan
para pemodal Eropa di industri perkebunan tembakau ternyata membawa
konflik bagi masyarakat Sunggal. Hubungan Sunggal dengan Deli memang
sudah tidak harmonis sejak Deli menyerang Sunggal pada 1822. Kini,
dengan kehadiran usaha perkebunan itu, hubungan kedua kerajaan itu
semakin buruk. Permasalahannya adalah karena, sebagian besar tanah
yang diserahkan Sultan Deli kepada para perusahaan perkebunan adalah
wilayah kekuasaan Sunggal dan bahkan jauh masuk ke wilayah Datuk
Sepuluh Dua Kuta dan Datuk Sukapiring. Tindakan Sultan Deli ini telah
menimbulkan kegelisahan dan tantangan rakyat. Berbagai keberatan yang
diajukan tidak digubris oleh Sultan Deli. Bahkan pada 1870, kembali
Sultan Deli memberikan konsesi tanah kepada perusahaan De Rotterdam.
Rakyat dilarang menanam tembakau atau tanaman lainnya, padahal tanah
itu adalah tanah adat yang sudah mereka miliki selama berabad-abad
secara turun temurun. Akhirnya hubungan Deli dan Sunggal memanas.
Datuk
Sunggal juga tidak begitu senang dengan kehadiran orang-orang Cina di
perkebunan-perkebunan yang masuk wilayah kekuasaan Sunggal, karena
kehadiran mereka sangat mengancam kelangsungan perekonomian rakyat
Sunggal dan secara tidak langsung merusak moral masyarakat.
Sebagaimana dikatakan Datuk Kecil ketika ia diinterogasi di penjara
Tanjung Pinang Riau bahwa, “Mereka tidak setuju tanah rakyat yang
subur dibagi-bagi begitu saja seenaknya oleh Sultan Deli kepada
perkebunan-perkebunan Belanda”. Dengan datangnya orang “Belanda kebon”
(pengusaha Belanda yang bergerak dalam usaha perkebunan), juga
berduyun-duyun masuk orang Cina yang kemudian diberi monopoli pachter
berdagang garam, candu, dan membuka tempat-tempat perjudian di
mana-mana. Sebagai contoh dikemukakan bahwa penjualan candu
diborongkan di Sunggal saja naik dari $50,- menjadi $600.-dalam dua
tahun saja.
Kehadiran
pengusaha perkebunan yang kapitalistik dan orang-orang Cina sangat
mengancam jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) orang-orang Batak Karo
yang memang sudah tertanam sejak lama. Semangat kewirausahaan itu
kini mendapat tantangan dari pendatang baru yang didukung secara tidak
fair oleh kekuatan kolonial Belanda yang memanfaatkan orang-orang
Cina itu untuk kepentingan mereka. Konversi tanah yang dikuasai
perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan perkebunan, berarti
tanah masuk dalam objek komersialisasi. Campur tangan orang-orang
pemerintahan atau gubernemen ke desa-desa mencakup pernyataan domein
(domein verklaring) yang sering mengabaikan hak-hak rakyat menurut
hukum adat, sehingga rakyat tidak dapat lagi memperluas tanah garapannya
lagi. Dengan Aturan Pembukaan (Ontginning Ordonantie) yang
diberlakukan pada 1874, setiap pembukaan tanah baru memerlukan izin
pemerintah, sedangkan berdasarkan UU Agraria banyak tanah yang belum
terbuka tersedia seluas-luasnya bagi perusahaan asing dengan
kapitalismenya. Perlawanan masyarakat Karo segera terjadi secara
sporadis sehingga mempersulit para pengusaha untuk begitu saja membuka
dan menguasai lahan baru. Kesulitan pengusaha Nienhuys mengelola budi
daya tembakau pada masa-masa awal kehadirannya di Deli tidak bisa
dilepas dari faktor kuatnya usaha orang-orang Karo tersebut. Sudah
sejak awal abad XIX orang-orang Batak Karo sudah membuka kebon lada
dan menanam tembakau. Bakat mereka sebagai pengusaha sangat tampak,
menyebabkan mereka sejak awal tidak bersedia menjadi kuli di
perkebunan tembakau. Karl J. Pelzer menyatakan bahwa “[...] Bakat
orang Batak Karo sebagai pengusaha memang menonjol. Dengan kecerdasan
yang patut dipuji, beberapa pemimpin mereka mampu menemukan jalan dan
cara untuk mengorganisasikan industri yang baru disertai sistematisasi
produksi dan pemasarannya. ” Kehadiran orang Cina di Sunggal selalu
dicurigai dan bahkan ada yang ditangkap oleh Datuk Badiuzzaman dan
dipenjara atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata dan menjual candu.
Penangkapan inilah yang kemudian menjadi argumentasi kuat Pemerintah
Belanda untuk menggempur Sunggal. Karena melalui penjelasan Orang Cina
(bernama Anton) inilah diketahui bahwa ada mobilisasi kekuatan
bersenjata yang tiap hari dilakukan oleh Datuk Sunggal. Namun
sebetulnya, penyebab konflik itu secara kultural dapat dijelaskan
karena terjadinya perubahan yang demikian cepat di Deli. Hanya dalam
tempo delapan tahun sejak 1864, hubungan-hubungan sosial tradisional
terganggu oleh hadirnya kapitalisasi perkebunan. Perubahan itu bahkan
lebih cepat dari yang apa yang dapat diperhitungkan orang-orang
pribumi. Akibatnya, bila di daerah lain, kemajuan secara bertahap dapat
diterima oleh masyarakatnya secara bertahap pula, maka di Deli
perubahan itu demikian cepat sehingga mengganggu orde tradisional.
Dengan demikian, semakin dalam penetrasi birokrasi kolonial
memengaruhi struktur sosial ekonomi-politik komunitas bumiputra,
semakin mendasar pula konflik kepentingan yang diakibatkan.
Antara Sunggal dan Deli
Sunggal
dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama sekali.
Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si
pendiri kerajaan Sunggal. Adir mempunyai anak sepuluh orang, yaitu
sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang Baluan. Kekuasaan
Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat, meliputi bekas wilayah
kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh
menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya
di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh menempatkan
Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat wilayah
hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung (federasi beberapa kampung).
Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII kota,
dan Sukapiring. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah
Deli Tua dan orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang
Baluan sebagai akses untuk dapat memengaruhi Raja Raja Urung di Tanah
Karo. Dari perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dan
Serdang. Sesuai dengan adat Karo, maka Deli adalah “anak beru” dari
Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan diserahkan Raja Urung Sunggal
jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara Kuala Belawan dan
Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh Deli. Secara
ketatanegaraan Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi
karena Deli menguasai pantai dan muara-muara Sungai yang vital bagi
impor dan ekspor hasil bumi, ditambah posisi Gotjah Pahlawan sebagai
wakil Aceh di Deli, maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih menonjol.
Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan
itu. Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian
keturunan-keturunannya raja-raja Deli bertindak sebagai “Yang
Dipertuan Agung” dan “Arbiter” (hakim tertinggi) yang memutus semua
sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi posisi sebagai “Ulon
Janji” (De Voornaamste Onderhandelaar) sekaligus mertua dan Mahapatih.
Oleh karena ia yang paling utama di antara raja-raja Urung di Deli,
maka ia berhak membacakan penabalan/pengesahan raja-raja Deli. Ketiga,
masing-masing raja Urung (Datuk ber-Empat) merdeka dalam wilayah
masing-masing.
Dalam
perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang surut. Pada
1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa kuat dan
berusaha menaklukkan Sunggal dengan cara melakukan perkawinan politik,
yakni menyunting Dajan Sermaidi (Sermaini) anak Datuk Undan raja
Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal
menjadi bawahan Deli hingga akhirnya pada 1822 Deli menyerang Sunggal.
Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk
Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal
masa
itu. Serangan ini bukan membuat Sunggal menjadi lemah, tapi malah
berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli kehilangan pengaruh atas keempat
raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo. Akibatnya, hubungan
menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar Laut (1823)
memutuskan
menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun Deli takluk pada
Kerajaan Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan Sunggal
merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan kuning,
dengan cap/lambang gajah. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal
sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung
Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya dengan John Anderson di Sunggal,
Datuk Amar Laut yang telah berusia 45 tahun ditemani ketiga putranya,
masing-masing Abdul Hamid, Abdul Jalil, dan Mahini, menjelaskan bahwa
ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan
tindakan Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh
karena itu, meski telah ada perdamaian, menurut Anderson,
konflik akan kembali terjadi antara Sunggal dan Deli. Ketika itu
Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan yang ramai dikunjungi
orang-orang Batak Karo dari gunung yang menjual hasil-hasil buminya.
Datuk Amar Laut mengusulkan pada Anderson, bila Inggris hendak membuka
perdagangan dengan Sunggal, maka perlu dibuat Pos Pengamanan di Pulau
Pangkor untuk mencegah aksi bajak laut yang selalu merampok
perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang. Dengan begitu,
Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit
hasil-hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia.
Posisi Sunggal yang strategis ini menarik perhatian utusan Inggris
itu sehingga perlu dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun,
ketika Sunggal di bawah kepemimpinan Datuk Akhmad (1845-1857) dan Deli
di bawah Sultan Mahmud, hubungan Deli-Sunggal berubah lagi.
Konfederasi Deli diaktifkan kembali. Sejalan dengan semakin kuatnya
pengaruh Belanda di daerah Sumatera Timur (Deli), ambisi Deli untuk
menaklukkan Sunggal terbuka lebar. Datuk Akhmad bahkan diberi gelar
Datuk Indra Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah
diresmikan nama Serbanyaman sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan
Deli menyewakan tanah-tanah subur di daerah Sunggal bagi kepentingan
industri perkebunan/pemerintah kolonial Belanda, maka hubungan
Deli-Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah perlawanan rakyat
Sunggal tahun 1872-1875. Perang itu, bagi Deli adalah upaya klasik untuk
melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal adalah
upaya mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan
kemerdekaan rakyat Sunggal yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan
sebelum adanya Kerajaan Deli.
Datuk
Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja Sunggal pada
1845-1857. Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sunggal (sekarang
terletak di Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan.)
Ia mempunyai delapan orang anak: 6 laki-laki dan 2 perempuan, yakni
Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd. Lazim, Datuk Mohd. Darus, Datuk
Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar, Datuk Mohd. Alif, Aja
Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Datuk Akhmad mempunyai saudara Datuk
Jalil, Datuk Muhammad Dini (Datuk Kecil) dan seorang perempuan. Datuk
Jalilb kawin dengan puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai
anak bernama Sulong Barat, Sulong Putra, dan seorang perempuan.
Sementara, Datuk Muhammad Dini (Kecil) kawin dengan puteri Selesai dan
mempunyai dua orang anak Suman dan seorang perempuan. Ketika Datuk
Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzaman masih berusia 12
tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk
memangku kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman dewasa. Datuk Kecil
memimpin Sunggal sampai tahun 1866. Dia adalah seorang yang sangat
anti Belanda dan sekaligus anti Deli. Karena bertindak sebagai
pemangku Sunggal selama 9 tahun, tidak heran bila ia mempunyai
pengaruh yang kuat di Sunggal, termasuk kepada kemenakannya Datuk
Badiuzzazman. (Ketika perlawanan meletus kontak antara Datuk
Badiuzzaman di Sunggal dengan Datuk Djalil dan Datuk Kecil di desa Gajah
dilakukan dengan melalui kurir).
Sebagaimana
sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian cepat dan
membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung
Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Udang Agraria, pihak
perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa meyewa tanah
dengan jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun (kemudian diubah
75 tahun). Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk
mengantisipasi perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang
sudah mulai terkenal di pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang
terbaik mutunya di dunia saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya
tembakau memang membutuhkan lahan yang luas dan subur dengan masa
rotasi tanam yang lama. Sebuah lahan yang habis dipanen harus
dihutankan kembali agar menjadi subur untuk kemudian ditanami kembali.
Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang lain
agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka
pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan
mengurangi arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia
Belanda.
Pihak
pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika melakukan
gerakan fasifikasi ke Deli, sangat membutuhkan bantuan para inverstor
asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu. Akibatnya,
perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena didukung
oleh kebijakan politik kolonial dan tradisonal (Sultan Deli).
Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para
penguasa Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk
Badiuzzaman Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta
seluruh kerabat dan orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang Batak
Karo dari pegunungan mengadakan rapat di sebuah kebun lada. Rapat itu
dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk Jalil, Datuk Sulong Barat,
Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dari pegunungan, dan
Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Lasykar
Aceh, Alas, Gayo.
Hasil
rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Deli
dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman mengatakan bahwa
“perselisihan sesama kita selama ini lenyapkan dari pikiran dan
marilah kita bersama-sama melawan Belanda yang hendak merampas tanah
kita…”. Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan
diusir Belanda”. Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa
“Belanda dan Sultan Deli setali tiga uang belaka, merampas tanah
rakyat demi kepentingannya sendiri.” Rapat itu memutuskan (a) Sunggal,
Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dan
segala perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya
harus dilenyapkan; (b) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat
menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan
leluhur untuk masyarakat; (c) Sunggal. Karo, dan Aceh (Alas, Gayo)
secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya.
Untuk merealisasi hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang
dipusatkan di Kampung Gadjah/Sitelu Kuru Tanah Karo. Badan ini
berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dari orang
yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan
mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini
(Kecil) dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini
bertanggung jawab langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal
yang ditugaskan mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama
Islam. Selama bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan
saudara-saudaranya marga Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat
pemandian mereka yang dikenal dengan “tapian jawi” (pemandian orang
Islam).
Datuk Badiuzzaman dan Perang Sunggal Mei - Oktober 1872
Dukungan
masyarakat Sunggal terhadap rencana perlawanan Datuk Badiuzzaman
terhadap Belanda demikian besar. Dukungan itu tampak dengan banyaknya
sumbangan uang dari setiap rumah tangga di Sunggal sebesar 2 sampai 10
dollar yang digunakan untuk mempersiapkan basis pertahanan perang.
Para pejuang Sunggal kemudian menempelkan pernyataan perang yang
menurut kebiasaan orang Karo dinamakan “musuh beringin” pada
tempat-tempat tertentu yang menyatakan bahwa kepada mereka yang
berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar. Melalui Datuk
Kecil, Datuk Jalil dan Sulong Barat sebagai komandan yang langsung
menggerakkan perlawanan rakyat di lapangan terus dilakukan persiapan.
Timbang Langkat dijadikan basis pertahanan dengan diperkuat oleh 1500
pasukan. Bukan hanya itu, koordinasi dengan Kejeruan Selesai dan
Bahorok di Langkat terus digalakkan. Koordinasi ini relatif mudah
karena ada hubungan kekeluargaan antara para pembesar Sunggal dan
kedua Kejeruan tersebut, yakni istri Datuk Kecil dan Datuk Jalil
adalah putri dari Kejeruan Selesai. Kekuatan para pejuang Sunggal
sudah mencapai 1000 orang Karo dan 500 orang Melayu. Sebagian besar
mereka dipersenjatai dengan senapan pemburas (senapan locok). Dukungan
masyarakat Karo sebenarnya bukannya hanya dari Sunggal, tetapi juga
dari Tanah Tinggi Karo. Sebagaimana dijelaskan di bagian depan, bahwa
sebagai Raja-Raja Urung Sunggal adalah bermarga Surbakti dari Kampung
Gadjah di Tanah Karo, maka tidak mengherankan jika kecintaan
orang-orang Karo terhadap Datuk Badiuzzaman demikian tinggi. Bagi
orang Karo, marga Surbakti memiliki nilai lebih daripada orang Karo
lainnya. Terutama sejak Datuk Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti
mengambil sikap menentang penjajahan Belanda. Masyarakat Karo di Tanah
Tinggi Karo memiliki strategi dan cara tersendiri dalam memberikan
bantuan kepada perjuangan Datuk Badiuzzaman. Dalam memberikan bantuan
tersebut, menurut Tampak Sebayang, ada enam jalur perjuangan yang
secara tradisional dipergunakan masyarakat Karo. Jalur perjuangan ini
sebenarnya juga adalah jalur budaya dan perdagangan yang secara
tradisional digunakan orang-orang Karo sejak dahulu untuk berdagang
dan bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya di daerah Deli, Langkat,
Serdang, dan Aceh.
Jalur
dagang itu secara rinci adalah sebagai berikut. Dari Desa Gadjah
(Kampung Surbakti) -Kawar-Pamah Sembilir-Telagah-ke Langkat/Binjai.
Dari Lau Sigedang- mengikuti aliran Sungai Bingai- terus ke
Subekan-Tanduk Benua-ke Binjai. Dari Sibolangit-ke Tanduk Benua. Dari
Sembahe-ke Tanduk Benua. Dari Talun Kenas- Deli Tua-Rumah Bacang-
Pancur Batu- Sungai Belawan- Tanjung Selamat - ke Sunggal. Dari
Tamiang (Aceh)- Berandan-Tajung Pura-Binjai-Namu Ukur- Tanjung
Gunung-Sawit-Subeikan- Tanduk Benua. Jalur-jalur inilah yang dipakai
para pejuang Sunggal dalam membantu perjuangan; melawan Belanda.
Melalui jalur inilah mengalir bantuan berupa lasykar/pasukan dan
logistik perang lainnya.
Sebagaimana
disebut sebelumnya bahwa salah satu pasukan dari Tanah Karo adalah
Nabung Surbakti (Pulu Jumaraja), dan ada lagi bernama Pa Blegah dan Pa
Tolong. Nabung Surbakti mempunyai seorang asisten bernama Pangaring
(Rasyid) Sebayang. Dengan demikian, salah satu yang berperan sebagai
kurir dalam menyampaikan pesan-pesan perjuangan dan koordinasi
perlawanan adalah Pangaring Sebayang. Di samping itu, ada juga
kurir-kurir yang berperan sebagai pedagang garam. Kurir-kurir itulah
orang-orangnya Datuk Badiuzzaman yang sekaligus sebagai penyampai
pesan (musuh beringin), logistik, dan juga pasukan. Peranan kurir
dalam perang Sunggal demikian penting, karena bagi orang Karo pesan
yang disampaikan melalui seorang kurir itu lebih berharga daripada
melalui surat
saja. Dengan cara itu Datuk Badiuzzaman melakukan kontak dengan semua
pasukan pejuang Sunggal yang berada di Aceh, Tanah Karo, Langkat, dan
Serdang sehingga ia mendapat bantuan logistik dan pasukan. Persiapan
untuk melakukan perlawanan sudah matang. Setiap hari sebagaimana
dikatakan orang Cina yang bernama Anton (pedagang Candu) yang
ditangkap oleh Datuk Sunggal dan kemudian dilepaskan, rakyat sudah
dipersenjatai secara besar-besaran di Sunggal, di bawah pimpinan
Panglima Dalam Sunggal. Ia juga menjelaskan bahwa Datuk Badiuzzaman
terus berhubungan dengan Datuk Jalil dan Datuk Kecil melalui surat
atau kurir. Sebagaimana disebutkan kontrolir Deems dalam laporannya
tangal 12 Juni 1872, selain putra-putra Datuk Jalil, Sulong Barat,
Sulong Putra, Bintang Siak, juga turut Wan Musa dari Sinembah dan
Tengku Sulong Hebar, putra Kejeruan Selesai. Di samping itu, Kejuruan
Bahorok, Kejeruan Stabat Tan Mahidin, dan orang-orang Batak dari hulu
Langkat mendukung para pejuang Sunggal setelah mereka mengadakan rapat
di Tanjung Jati. Setelah rapat itu, para pejuang Sunggal mulai
membakari bangsal-bangsal tembakau dan rumah-rumah tuan kebon Belanda.
Akibatnya, produksi tembakau berhenti. Para Tuan Kebon itu berlarian
membawa anak dan istrinya mengungsi ke Labuhan Deli. Sunggal benar-benar
dalam keadaan kacau balau. Residen Riau Schifft melaporkan kepada
Gubernur Jenderal di Batavia bahwa ia telah menerima surat dari
seorang Tuan Kebon di Deli bernama Hagge Lies, yang menyatakan para
pejuang Sunggal sudah memasuki Langkat dan Deli dan sebanyak 40
keluarga Tuan Kebon dari Deli dan Langkat telah diungsikan ke
pelabuhan.
Sementara
pada April 1872 Tuan Munnick melaporkan bahwa kuli Tuan H.H. Schlatte
dan Peijer yang sedang membangun jalan menuju Langkat harus
menghentikan pekerjaan mereka karena diancam oleh 40 orang Batak Karo
atas perintah dari Datuk Sunggal. Dalam sebuah pertemuan antara Sultan
Deli, Komandan Kapal Bangka, dan Kontrolir Deems diketahui bahwa
sejak Agustus 1871 di wilayah Sunggal sebenarnya sudah terjadi oposisi
terhadap kekuasaan Sultan Deli dan perusahaan perkebunan. Oposisi itu
sebenarnya dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman yang mendapat pengaruh dan
dukungan kuat dari Datuk Kecil dan saudaranya Datuk Djalil, yang
walaupun sudah berusia lanjut masih berusaha memerdekakan Sunggal dari
Deli dan Langkat. Sebenarnya usaha Sultan Deli untuk membujuk Datuk
Sunggal, Datuk Jalil, dan Datuk Kecil sudah dilakukan, tetapi selama
ini mengalami kegagalan. Para Datuk dari Sunggal tetap tidak mau
menghadiri undangan Sultan Deli untuk berunding. Datuk Kecil menolak
datang ke Deli dengan alasan bahwa Sunggal adalah tanah airnya dan
bahwa ia tidak ada urusan apa-apa dengan Sultan Deli dan memprotes
tindakan kontrolir Deems yang melarang masuknya mesiu dan timah.
Menanggapi situasi yang membahayakan bagi kepentingan perkembangan
perkebunan tembakau dan mengancam keamanan dan ketertiban (rust en
orde) di Deli maka Kontrolir Deli, Deems, memanggil Datuk Badiuzzaman
sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan dan
ketertiban di Sunggal ke Labuhan Deli. Datuk Badiuzzaman memenuhi
panggilan itu dan ia ditanyai seputar berita-berita yang sedang
terjadi di Sunggal. Datuk Badiuzzaman menjelaskan bahwa Sultan telah
bertindak kasar dan telah menahannya, tetapi tentang mempersenjatai
para pengikutnya ia tidak memberikan komentar sedikit pun. Pemerintah
Belanda akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan operasi
menghancurkan kekuatan pejuang Sunggal. Dengan agak tergesa-gesa,
sebuah ekspedisi militer gabungan dari kesatuan Angkatan Darat
(Infantri, Artileri dari Garnizun Tanjung Pinan) dan Korp Marinir
Angkatan Laut dari Kapal perang Bangka, dan Den Briel di bawah
pimpinan Kapten W. Koops tiba di Labuhan Deli dan langsung menuju
Sunggal pada 15 Mei 1872. Pasukan Belanda dibantu oleh 200 orang
prajurit Sultan Deli di bawah pimpinan Raja Muda Sulaiman dan beberapa
ratus prajurit Pangeran Langkat di bawah pimpinan Tengku Hamzah dan
Datuk Laksemana, dibantu oleh beberapa ratus buruh perkebunan tembakau
untuk mengangkut logistik dan persenjataan. Pasukan Belanda ini
langsung menuju perkebunan Arendsburg (Klumpang) dan Rotterdam.
Sementara itu, pasukan pejuang Datuk Sunggal sudah menempati kawasan
Timbang Langkat memanjang ke Hamparan Perak-Tanduk Benua-Sapo
Uruk-Sunggal. Mereka juga didukung oleh pasukan Aceh yang berkedudukan
di sepanjang pesisir Langkat hingga ke Pulau Kampai. Pasukan Karo
menempati daerah dari Bukum- Buluhawar-Pariama-Tuntungan-Padang
Bulan-Sunggal. Dalam kontak tembak tanggal 17 Mei 1872 para pejuang
Sunggal berhasil menewaskan dua orang serdadu Belanda bernama Angelink
dan Schoon dan melukai beberapa orang, termasuk Letnan Lange Komandan
Marinir Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1872, pasukan Datuk Sulong
Barat berhasil menghancurkan pasukan Belanda di Sapo Uruk dan Tanduk
Benua. Tiga hari kemudian pasukan Infantri Belanda di bawah pimpinan
Kapten Koops dan Altileri di bawah pimpinan Van de Meurs diserang para
pejuang Sunggal. Pasukan Belanda mengundurkan diri menuju kebon Enterprise (Kampung Lalang), di seberang Sungai Sunggal dengan meninggalkan beberapa orang korban.
Mengingat
perlawanan demikian hebat dari pejuang Sunggal maka Pemerintah
Belanda melalui Assisten Residen Riau, Locker de Bruijne, berusaha
memutuskan hubungan koordinasi antara Datuk Badiuzzaman dengan para
komandan pasukan di daerah Timbang Langkat dan hutan pegunungan.
Beberapa Kepala Kampung Karo dikumpulkan dan Datuk Badiuzzaman dipaksa
untuk menyerahkan para pejuang Sunggal dan memerintahkan agar
orang-orang Melayu yang ikut bertempur di hutan-hutan agar kembali ke
rumah masing-masing. Oleh karena Datuk Badiuzzaman tidak bersedia
bekerja sama maka ia dikenakan tahanan kota
di Labuhan Deli. Sultan Deli tanggal 8 Juni 1872 juga mengumpulkan
para penghulu kampung Karo dan memerintahkan kepada mereka agar dalam
tempo paling lama 9 hari menangkap para pemimpin pejuang Sunggal,
yaitu Datuk Kecil dan kawan-kawannya di lapangan. Bahkan Sultan
menjanjikan hadiah sebesar $400 bila berhasil menangkap semuanya dan
$120 untuk seorang. Tapi usaha ini juga tidak berhasil. Bahkan para
pejuang Sunggal malah menyerang Belanda di Kebon Enterprise
dan Perkebunan Padang Bulan. Pasukan Belanda kemudian mengungsikan
semua keluarga orang kulit putih (Eropa) ke Labuhan. . Pada 10 Juli
1872 Kebon Kampung Lalang diserang lagi, meskipun Letkol van Hombracht
sudah mengambil alih pimpinan pasukan Belanda di perkebunan itu.
Letkol van Hombracht luka parah. Pada 20 Agustus 1872, pasukan Belanda
dipukul mundur di Rimbun. Mayor van Stuwe yang membawahi 350 pasukan
infantri dan artileri termasuk 14 orang perwira mendapat serangan
dahsyat di sepanjang Lau Margo. Oleh karena upaya membujuk Datuk
Badiuzzaman, Penghulu Gadjah, beberapa penghulu kampung Karo lainnya
tidak berhasil maka Belanda menggempur markas pejuang Sunggal di Lau
Margo. Kuatnya perlawanan rakyat Sunggal terbukti dalam tahun 1872
sudah 3 kali ekspedisi militer Belanda dengan bantuan langsung dari
Batavia untuk mematahkan perlawanan rakyat Sunggal. Belanda sebenarnya
tidak mampu secara militer menangkap para pimpinan pejuang Sunggal.
Datuk Badiuzzaman sebenarnya adalah sosok penguasa Urung/Sunggal yang
secara sembunyi-sembunyi terus melakukan kontak rahasia dengan para
komandan lapangan (Datuk Kecil dkk). Sebagaimana dikatakan Sultan
Deli, “Hampir setiap malam melalui para kurir orang Karo Datuk Sunggal
menerima pesan-pesan dari Datuk Kecil dkk”. Semua kerabat Datuk
Sunggal secara terang-terangan telah membenci Belanda.
Perjuangan lewat Perang dan Perundingan
Medan
perang yang sangat luas dan keterbatasan personel, membuat Belanda
berusaha menawarkan perdamaian. Residen Riau Schiff juga melalui kurir
sering menawarkan perdamaian dengan Datuk Kecil dan rekan-rekannya
dan juga kepada Datuk Badiuzzaman. Dengan menggunakan Sultan Deli,
Belanda menawarkan gencatan senjata dan bersedia menarik pasukannya.
Mengingat Sultan Deli merupakan anak beru Sunggal maka untuk kedua
kalinya Datuk Badiuzzaman mau berunding dengan Sultan Deli. Datuk
Sunggal rupanya masih menaruh harapan akan penyelesaian konflik yang
tidak serta merta harus diakhiri dengan kekerasan atau perang. Lewat
perundingan dapat dicapai penyelesaian yang baik dari sisi rakyat
bumiputera Sunggal maupun bagi Belanda dan Sultan Deli.
Perundingan
ini harus dilakukan di tempat netral, yakni di sekitar Kampung Lalang
dan Belanda harus melucuti pasukannya. Berdasarkan kesepakatan itu
maka Datuk Badiuzzaman dengan rombongan diiringi musik serdadu Belanda
(tanpa senjata) daan diantar Datuk Sulong Barat, menyampaikan
kesepakatan tersebut kepada Datuk Mohd. Jalil dan Datuk Kecil yang
saat itu sedang sakit di Kampung Gadjah. Pada 20 Oktober tibalah
rombongan Datuk Kecil dengan diiringi pasukan pengawalnya di Sunggal.
Kemudian, dengan dikawal pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan
Ponstein rombongan Datuk Badiuzzaman dan Datuk Kecil menuju tempat
perundingan di perkebunan Arensburg (Klumpang) tempat tinggal
sementara Schifft, Residen Riau. Rupanya harapan Datuk Badiuzzaman
yang masih menaruh harapan akan niat baik Belanda dalam perundingan
antara pihak yang bertikai sebagai pihak yang “berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah” tidak terjadi. Ketika perundingan sedang
berlangsung, 25 Oktober 1872, tiba-tiba Residen Riau memerintahkan
kepada para Datuk Sunggal itu untuk minta ampun pada Gubernur Jenderal
di Batavia.
Datuk
Kecil kemudian menjawab bahwa mereka tidak melakukan kesalahan
apa-apa dan tidak perlu minta ampun. Namun, Residen Riau kemudian
menyatakan bahwa mereka sekarang telah menjadi tawanan dan
memerintahkan kepada Letnan Kolonel van Stuwe untuk melucuti semua
pasukan pejuang Sunggal. Para
pengawalnya orang-orang Batak Karo disuruh kembali ke Sunggal, yang
lainnya dibawa ke Labuhan Deli. Datuk Kecil, Datuk Mohd. Jalil, Sulong
Barat, dan empat pengawalnya selanjutnya dibawa naik kapal “Den
Briel” ke Tanjung Pinang dan kemudian ke Batavia
tanggal 4 November 1872. Sementara Datuk Badiuzzaman, Datuk Alang
Muhammad Bahar, dan beberapa pejuang lainnya diinterogasi dan kemudian
dilepas. Datuk Badiuzzaman tetap melanjutkan perlawanan dengan jalan
memerintahkan berbagai aksi sabotase di Perkebunan Tembakau 1874-1895.
Berdasarkan laporan resmi Departemen Pertahanan Hindia Belanda pada 4
Nopember 1872, korban tewas dari militer Belanda sebanyak 31 orang
dan luka-luka sebanyak 592 orang. Ini tidak termasuk korban dari
pasukan Sultan Deli dan Langkat dan para kuli kebon. Setelah Datuk
Kecil, Datuk Mod. Jalil, dan Sulong Barat dibuang ke Jawa, kondisi
keamanan di Deli pada tahun 1873 realtif aman.
Kontrak-kontrak
tanah untuk perusahaan perkebunan mulai ditata kembali dengan lebih
memperhatikan kesejahteraan para penduduk pribumi. Sewa tanah dalam
kontrak-kontrak yang dilakukan oleh para pengusaha bangsa Eropa,
seluruhnya diperuntukkan bagi Datuk empat suku di Deli, sepanjang
tanah-tanah itu masih masuk wilayahnya. Pada 14 Juni 1873, peraturan
ini diperkuat dengan akte baru. Para
penghulu Batak Karo yang terlibat dalam perang telah diberi amnesti,
tapi mereka tetap menunggu dilakukannya pesta perdamaian sesuai dengan
adat Karo sebagai tanda adanya perdamaian. Meskipun demikian, kondisi
keamanan di Deli kembali tidak aman bagi para pengusaha perkebunan
Eropa dan para pejabat Belanda. Masih dalam bulan Mei 1873, ada
informasi bahwa sejumlah orang Alas dari orang-orang Aceh yang berdiam
di Perbatasan Langkat Hulu (Atas) telah menerima surat dari Sultan
Aceh yang isinya mengajak untuk berperang melawan Belanda. Surat
seperti itu pun beredar di Kampung Sitelu Kuru, tempat asal-usul
raja-raja Urung Sunggal Serbanyaman. Berita-berita itu malah sampai ke
para pengusaha perkebunan dan sangat mencemaskan dengan adanya 10.000
pasukan dari Deli Atas dan Langkat akan turun ke Deli Bawah menyerang
orang-orang Eropa. Ternyata berita ini memang sangat
dibesar-besarkan, sehingga Belanda tidak jadi mengirim bantuan pasukan
dari Tanjung Pinang. Tetapi kontrolir Kroesen dibuat sibuk dengan
melakukan kunjungan ke daerah-daerah Langkat Atas. Memang berita itu
bisa saja dibesar-besarkan, tapi ketenteraman di Deli, khususnya
keselamatan para tuan kebon Eropa dan perkebunannya belum sepenuhnya
aman.
Datuk
Badiuzzaman, setelah Datuk Kecil dan rekan-rekannya, ditangkap
kemudian mengubah pola perjuangan dari perang frontal menjadi serangan
sporadis ke bangsal-bangsal tembakau milik perusahaan perkebunan
Eropa dengan tujuan memberikan rasa tidak aman bagi Tuan Kebon Eropa
bersama keluarganya dan menghentikan produksi perkebunan dan ekspansi
areal perkebunan. Tembakau yang disimpan di bangsal-bangsal dan siap
untuk diekspor dibakar sebagai tindakan balasan terhadap aksi
penyerobotan tanah-tanah rakyat Sunggal oleh perusahaan perkebunan
tembakau dan dilindungi pasukan Belanda yang ditempatkan di setiap
emplasmen perkebunan. Setiap bangsal tembakau yang akan diserang/dibakar
ditempelkan terlebih dahulu tanda adat “musuh beringin”. Dalam sebuah
pertemuan antara Assisten Residen Siak, Locker de Bruijne, Sultan
Deli, dan Datuk-Datuk Empat Suku, bulan April 1873, Locker de Bruijne
secara tegas memperingatkan Datuk Badiuzzaman apabila masih ada
gangguan keamanan dan ketertiban di wilayahnya, maka yang harus
bertanggung jawab adalah Datuk Badiuzzaman. Rapat ini dilakukan karena
keamanan mulai terganggu lagi, apalagi setelah utusan dagang Sultan
Deli hilang tidak diketahui rimbanya. Kejadian itu membuktikan bahwa
perlawanan rakyat Sunggal tidak berhenti, bahkan semangat perlawanan
itu terus membara dan ditebarkan oleh Datuk Badiuzzazman.
Tetap Menolak Tunduk
Di
bawah pimpinan Datuk Badiuzzaman dan adiknya Datuk Alang Muhammad
Bahar, rapat-rapat rahasia sering dilakukan dengan pemuka masyarakat
di beberapa tempat, termasuk di Kampung Pagar Batu atau Pancur Batu.
Dalam rapat itu mereka tetap tidak mau mengakui kekuasaan Sultan Deli
atas Sunggal dan membahas cara melakukan serangan terhadap perkebunan.
Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut
diserahkan kepada adik kandungnya, Datuk Alang Muhammad Bahar. Keadaan
di Deli semakin gawat dengan munculnya bahaya kelaparan. Keadaan ini
terjadi karena adanya aksi pemboikotan rakyat petani yang turut
bersimpati dengan perjuangan Datuk Sunggal tidak dan mau menjual
berasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda mengimpor beras dari Rangon
(Birma).
Hingga
tahun 1866, gerakan pengacauan di perkebunan tembakau terus
berlangsung. Schadee melaporkan bahwa para pemilik perkebunan beserta
keluarganya di beberapa tempat mati terbunuh. Mereka yang selamat
menjadi panik dan melarikan diri ke Medan.
Gerakan pengacauan ini semakin meluas sehingga hampir semua bangsal
perkebunan milik orang Eropa tidak dapat diselamatkan. Setahun
kemudian, tepatnya bulan Agustus 1876, Tuan Van Der Sluis dkk pemilik
perkebunan Sungai Tawar yang terletak di Babalan Langkat, diserang
oleh orang-orang Gayo. Administratur Perkebunan terluka dan rumahnya
dibakar. Sebulan kemudian, September 1876, Perkebunan Tandem dekat
Sungai Bingei milik Tuan Peyer en Van Gulich juga diserang orang-orang
Gayo. Dalam serangan itu seorang Eropa meninggal dan beberapa orang
kuli terluka. Pada Bulan Oktober 1876, sebuah perkebunan Sungai Diski
giliran mendapat serangan dari orang-orang Gayo dan Melayu dari
Kampung Sialang Moeda. Istri pemilik perkebunan J. Lohmann dan dua
putranya mati dibunuh dan beberapa orang yang tinggal serumah mengalami
luka-luka. Pemerintah Belanda segera mengambil tindakan untuk
melindungi perkebunan.
Polisi
segera berhasil menangkap para pelaku penyerangan, yakni empat orang
Batak Karo dan dua orang Melayu ditembak mati, enam orang lainnya
dihukum kerja paksa. Pemimpin utamanya bernama Razal dipenjara.
Setelah dilakukan aksi pembersihan oleh Belanda, ternyata diketahui
bahwa serangan-serangan itu diperintahkan oleh Panglima Selan, seorang
Batak Karo yang memiliki pengaruh di kalangan orang-orang Gayo yang
bermarkas di Si Umpih-Umpih (kira-kira 10 jam perjalanan dari Timbang
Langkat). Ia memang sudah sering membuat keonaran dan setelah itu ia
menghimpun sejumlah orang sekampungnya untuk menyerang perkebunan Ajer
Tawar. Pada bulan November 1887 markasnya digempur pasukan militer
Belanda, tetapi Selan dan pengikutnya sudah meninggalkan tempat itu.
Namun demikian, semua barang yang menurut Belanda merupakan hasil
rampasan dalam tiap aksi penyerangannya berhasil ditemukan Militer
Belanda di Sungai Diski. Berbagai penyerangan yang dilakukan Panglima
Sekalian sebenarnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan
Datuk Badiuzzaman menentang kolonialisme Belanda, sebagai startegi
meneruskan perjuangan setelah paman-pamannya Datuk Kecil, Datuk Jalil,
dan Sulong Barat dibuang Belanda ke Jawa.
Panglima
Selian sebenarnya adalah anak buah Datuk Alang Bahar. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa semua aksi pembakaran perkebunan di
Tandem, Sungai Mencirim, Diski, Gedong Johor, dan penghadangan pasukan
militer Belanda adalah atas perintah Datuk Badiuzzaman dan adiknya,
Datuk Alang Bahar.
Mengingat
semakin seringnya aksi-aksi pembakaran terhadap perkebunan maka
Belanda mulai merencanakan strategi Kristenisasi melalui lambaga
Alkitab Belanda (Zending) untuk memecah belah persatuan antara orang
Melayu dan Karo Sunggal. Mereka mendukung kegiatan zending untuk
membendung pengaruh Melayu/Islam di kalangan orang Batak Karo yang
non-Islam. Wujud tindakan memecah kesatuan antara orang Melayu dan
Karo juga tampak dalam berbagai laporan pemerintah kolonial Belanda
yang selalu menyebut aksi-aksi pembakaran perkebunan dilakukan oleh
orang Batak, tidak disebutkan oleh orang Karo.
Politik
pecah belah itu tidak berhasil dan bahkan persatuan antara orang
Karo/Melayu Sunggal dengan Batak Karo di Pegunungan makin kuat untuk
membebaskan daerahnya dari penjajahan Belanda. Bagaimanapun, aksi
pembakaran bangsal-bangsal tembakau membuat produksi perkebunan
menurun dan pada gilirannya mempengaruhi perekonomian Hindia-Belanda.
Belanda akhirnya berusaha keras untuk mengatasi aksi-aksi sabotase
tersebut, termasuk dengan mempergunakan mata-mata yang disusupkan ke
Sunggal. Upaya ini berhasil. Berdasarkan seorang mata-mata wanita
bernama Lelau, didapat sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa
sebenarnya otak dari segala aksi-aksi pembakaran bangsal-bangsal
tembakau itu adalah Datuk Badiuzzaman. Oleh karena itu, dalam sebuah
pertemuan pada 1894, yang digagas untuk mencari jalan keluar atas
kemelut yang terjadi di Deli, Assisten Residen Siak mengusulkan agar
Datuk Badiuzzaman segera disuruh ke Batavia
menemui Gubernur Jenderal dalam rangka mengatasi masalah di Deli.
Usul ini diterima Datuk Badiuzzaman dengan hati bersih. Dengan
didampingi Datuk Alang Muhammad Bahar (adiknya), Datuk Mahmud
(sekretarisnya) dan Daim (ajudannya) berangkatlah menuju Batavia
meninggalkan seluruh anak dan istrinya di Sunggal. Sesampainya di
Batavia, ternyata, Datuk Badiuzzaman belum juga dipertemukan dengan
Gubernur Jenderal dan ia tidak diperbolehkan pulang ke Sunggal. Hingga
suatu ketika, seorang pengacara yang menemuinya menyatakan sebenarnya
mereka telah menjadi orang buangan. Sadarlah Datuk Badiuzzaman bahwa
mereka telah ditipu oleh Belanda. Mereka bisa ditolong asal mau mohon
ampun atas kesalahannya pada saat hari ulang tahun Raja Belanda, lewat
Gubernur Jenderal di Batavia. Akan tetapi, Datuk Badiuzzaman tetap
pada pendiriannya bahwa sampai mati pun ia tidak akan mau berjongkok
atau merunduk di hadapan penjajah, apalagi minta ampun pada Belanda
karena itu adalah sebuah pantangan dari nenek moyangnya. Akhirnya,
Datuk Badiuzzaman dan sang adik, Datuk Alang Mohd. Bahar dipenjara di
Bengkalis, Riau.
Kemudian
melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 3 Tanggal 20 Januari
1895 mereka dihukum buang seumur hidup. Datuk Badiuzzaman dibuang ke
Cianjur dan Datuk Alang Mohd. Bahar dibuang ke Banyumas. Mendengar
kabar itu, rakyat Sunggal berkabung selama 3 bulan sebagai tanda
hormat dan setia pada pemimpin mereka. Ketika sholat Jumat, selama
tiga bulan berturut-turut mereka mendoakan para pejuang rakyat
Sunggal. Sama seperti yang dialami pamannya, Datuk Kecil dan Datuk
Mohammad Jalil, Datuk Badiuzzaman juga tidak pernah lagi melihat
anak-istri dan keluarganya sampai meninggal di pembuangan. Datuk
Badiuzzaman dikuburkan di Cianjur dan makamnya dikenali masyarakat
setempat dengan nama “Makam Istana Deli”. Datuk Alang Mohd. Bahar
dikebumikan di Desa Lampui, Kecamatan Jombang, Banyumas, Jawa Tengah.
Dengan demikian, hampir 2/3 hidupnya diabdikan untuk menentang
penjajahan Belanda di Deli/Sumatera Timur. Ia tetap menggelorakan
semangat anti Belanda dan anti Deli di kalangan rakyatnya dan
konsisten tanpa mau menyerah pada tekanan Belanda.
Sunggal Sepeninggal Datuk Badiuzzaman
Pembuangan
Datuk Badiuzzaman ke Pulau Jawa menyebabkan takhta Sunggal kosong.
Oleh karena Putra Datuk Badiuzzaman, Datuk Muhammad Munai, masih kecil
maka berdasarkan musyawarah keluarga ditunjuklah Datuk Muhammad Alif,
pamannya, sebagai pemangku kerajaan Sunggal selama enam tahun dari
1895-1901. Datuk Muhammad Munai diangkat menjadi Raja Sunggal tahun
1901. Ia mempunyai 6 orang anak, yakni Datuk Muhammad Jalib, Datuk
Muhammad Hasan, Datuk Muhammad Hitam, Datuk Muhammad Bagus, Datuk
Muhammad Nur, dan Datuk Hermasnyah. Datuk Mohd. Hasan mempunyai 5
orang anak, yaitu Aja Nazariun, Datuk Saifi Ichsan, Aja Sachila, Aja
Herlila, dan Aja Masitah. Datuk Muhammad Hitam mempunyai lima orang
anak, yaitu Aja Miliunnah, Datuk Ahmad Neil, Aja Mahnon, Aja
Nurulaini, dan Datuk Agustin. Datuk Mod. Bagus mempunyai sembilan
orang anak, yaitu Datuk Zulkarnaen, Datuk Harmaen, Aja Arfah, Datuk
Muaz, Datuk Hundri, Aja Chalizah, Aja Chairiah, Datuk Musa, dan Aja
Elfira. Datuk Mohd. Nur mempunyai tujuh orang anak, yaitu Datuk
Alisyah, Datuk Arifin, Aja Nurlian, Datuk Helmi, Datuk Aswadi, Datuk
Alman, dan Aja Mahyun. Datuk Hermasyah mempunyai empat orang anak, yaitu
Aja Mariamah, Aja Syafinat, Datuk Nazeli, dan Datuk Amansyah. Beliau
memerintah selama 7 tahun sampai 1907. Takhta Sunggal kemudian
digantikan oleh Datuk Muhammad Jalib, namun mengingat ia masih kecil
maka Sunggal kembali dipangku oleh Datuk Yusuf. Datuk Yusuf memerintah
Sunggal sampai tahun 1914.
Datuk
Muhammad Jalib naik takhta tahun 1914 dan diberi gelar Datuk Johan
Sri Indra dan memegang pemerintahan sampai tahun 1923. Atas
kehendaknya sendiri ia kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada
adiknya, Datuk Muhammad Hasan, yang bergelar Datuk Sri Indra Pahlawan.
Datuk Muhammad Hasan memegang pemerintahan sampai tahun 1945. Sejalan
dengan masa revolusi kemerdekaan maka di Sumatera Timur bergeloralah
semangat revolusioner yang akhirnya menimbulkan peristiwa Maret 1946,
sebuah peristiwa penghancuran terhadap kekuasaan tradisional. Kekerasan
bermula dari Sunggal, ketika beberapa unit laskar rakyat (Barisan
Harimau Liar) menyerang markas Persatuan Anak Deli Islam
(PADI)/Pasukan V di dekat rumah Datuk Hitam. Datuk Hitam dan sejumlah
tokoh bangsawan melarikan diri ke Medan.
Empat puluh keluarga bangsawan Sunggal ditangkap dan ditawan oleh
Volksfront (Front Rakyat) Cabang Sunggal. Akibat aneka kerusuhan itu
Kerajaan Sunggal/Serbanyaman yang telah dibangun oleh Adir Surbakti
berakhir.
| |
Keteladanan Dt. Badiuzzaman
|
Sebagai
sosok tokoh masyarakat, Datuk Budiuzzaman yang berjiwa besar dan rela
berkorban memberi keteladanan. Nilai-nilai keteladanan yang dipegang
olehnya adalah sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, seperti keadilan, keselamatan, dan kesejahteraan rakyat Sunggal;
2.
Selalu membina persatuan dan kesatuan lintas etnik, yakni Karo,
Melayu, Aceh, Gayo, dan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah
Sunggal dari penjajahan Belanda;
3. Menerapkan prinsip musyawarah dan mufakat dalam mencapai suatu tujuan;
4. Konsisten dalam perjuangan untuk mencapai kebebasan;
5. Menjaga persatuan “bangsa” atau kaumnya;
6. Pantang menyerah dalam perjuangan;
7.
Rela mengorbankan hidupnya dalam perjuangan membela kebebasan dan
kesejahteraan rakyat dan masyarakatnya hingga mengalami pembuangan dan
terpisah dari keluarganya sampai wafatnya.Daftar raja
.
* 1629-1651: Adir Surbakti
* 1651-1667: Mahbub Surbakti
* 1667-1792: Bubud Surbakti
* 1792-1821: Datuk Andan/Undan Surbakti
* 1821-1845: Datuk Amar Laut Surbakti adalah penerus takhta Sunggal yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi.
* 1651-1667: Mahbub Surbakti
* 1667-1792: Bubud Surbakti
* 1792-1821: Datuk Andan/Undan Surbakti
* 1821-1845: Datuk Amar Laut Surbakti adalah penerus takhta Sunggal yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi.
* 1845-1857: Datuk Abdullah Ahmad Surbakti naik takhta pada 1845 – 1857
* 1857-1866: Regen. Datuk Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzazman masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzazman dewasa. Datuk Kecil memimpin Sunggal sampai tahun 1866.
* 1866-1895: Datuk Badiuzzazman Surbakti diangkat menjadi raja Sunggal/Serbanyaman tahun 1866 dengan Gelar Datuk Sri Diraja Indra Pahlawan sampai tahun 1895.